Show Posts

This section allows you to view all posts made by this member. Note that you can only see posts made in areas you currently have access to.


Topics - satyana

Pages: 1 2 [3] 4
31
Jakarta, 4 Juni 2014

Press Release

Mito Mobile mem-bundle Aplikasi Buku BSE di Tablet Mito T77

Mito Mobile sekali lagi  selangkah lebih maju dari para kompetitornya, yaitu dalam setiap Tablet yg terjual, secara otomatis sudah ter-bundle Aplikasi Buku BSE, sebuah aplikasi yang sangat bermanfaat bagi sekitar 50 juta pelajar & guru di seluruh Indonesia.

Dengan adanya Aplikasi Buku BSE di dalam tablet ringan, canggih namun tak mahal ini, diharapkan bisa lebih mempermudah para pelajar, orang tua murid dan  guru untuk mengakses buku-buku pelajaran sekolah elektronik yang berjumlah lebih dari 1300 yang sudah disediakan gratis oleh pemerintah Indonesia.

"Kami memberikan apresiasi kepada Management Mito Mobile yang telah menyediakan aplikasi Buku BSE yg terinstall langsung dalam setiap Mito Tablet T77 yg terjual, sehingga ini bisa mengubah pandangan masyarakat bahwa Tablet bukan hanya untuk browsing, email & main games saja, namun juga bisa untuk membantu belajar pelajaran sekolah", kata Ginting Sadtyono, Direktur Mahoni.com sebagai developer Aplikasi Buku BSE.

Seperti yang diketahui, Buku Sekolah Elektronik atau Buku BSE adalah satu program dari Kemendikbud Indonesia yang dibuat untuk memberikan buku-buku pelajaran gratis untuk siswa SD, SMP, SMA dan SMK. Program ini telah di mulai sejak 2008, dengan dibelinya hak cipta dari lebih 1300 buku pelajaran oleh pemerintah Indonesia, agar bisa dimanfaatkan dengan gratis oleh semua pelajar & guru di seluruh Indonesia.

Buku BSE yang awalnya hanya bisa di unduh melalui komputer atau PC saja, kini hadir semakin mudah dan modern. Berkat semakin meluasnya penggunaan tablet computer di Indonesia, salah satu developer Indonesia, Mahoni.com, telah berhasil membuat aplikasi Buku BSE agar bisa diakses lebih luas melalui tablet dan smartphone.

Aplikasi Buku BSE bisa mengakses lebih dari 1300 buku pelajaran untuk siswa SD, SMP, SMA dan SMK, termasuk Buku-buku Kurikulum 2013. Juga bisa didownload 24 buku-buku pendidikan anti korupsi dari KPK

Aplikasi Buku BSE ini dilengkapi pula dengan beberapa fitur tambahan yang bisa dimanfaatkan oleh para siswa untuk memudahkan urusan disekolah, seperti Notes untuk membuat catatan, Kalkulator scientific, Converter, Grafik Kartesius dan Media untuk menggambar.  Ditambah lagi, di dalam aplikasi juga dilengkapi dengan fitur Browser, untuk browsing internet tanpa harus keluar dari aplikasi. Semua fitur dan keunggulan di dalam aplikasi dibuat untuk memudahkan penggunanya saat menggunakan Aplikasi Buku BSE.

Semua fitur serta fasilitas tersebut kini semakin mudah di dapat di Tablet Mito T77.

Mito Mobile secara nyata, ikut membantu program pemerintah untuk menyebarkan Buku Sekolah Elektronik via tablet untuk menjadikan biaya pembelian buku sekolah menjadi lebih murah & lebih mudah

Ini kabar bagus bagi para orang tua yang menginginkan sebuah tablet yang bisa digunakan untuk membantu anaknya dalam urusan sekolah, Mito T77 bisa jadi pilihan yang tepat.

32
Buku BSE (Buku Sekolah Elektronik) / Kurikulum Baru dan Mafia Buku
« on: February 11, 2014, 02:48:31 PM »
Kurikulum Baru dan Mafia Buku

Oleh: Dr H Usman Yatim MPd MSc



Para orangtua tentu menyambut gembira bilamana anak-anak mereka yang duduk di bangku sekolah SD, SMP atau SMA tidak lagi harus membeli buku-buku pelajaran. Hal itu karena pemerintah akan menyediakannya secara gratis. Selama ini biarpun disebut sekolah gratis ? walau nyatanya tetap ada pungutan ? setiap awal ajaran baru kewajiban membeli buku pelajaran sudah menjadi tradisi. Anak-anak wajib punya buku pelajaran yang baru, sedangkan buku bekas kakaknya, meski baru setahun, tidak dapat dipakai karena sudah berbeda.


Benarkah buku pelajaran sekolah digratiskan? Tampaknya, hal ini masih menjadi tanda tanya besar dan jangan-jangan ini masih sebatas wacana. Tahun lalu, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud, Diah Harianti, pernah mengisyaratkan, untuk kurikulum baru yang diterapkan pada Juni 2013,  buku-buku pelajaran akan diberikan secara gratis pada guru dan siswa. ?Kami siapkan saja semuanya. Dicetak oleh negara atau swasta, kami masih belum tahu. Tapi untuk buku gratis memang ada rencana,? kata Diah kepada Kompas.com, 16 September 2012.

Kebijakan buku pelajaran gratis itu tentu saja membuat penerbit buku merasa khawatir karena selama ini memang banyak penerbit bergerak di bidang buku pelajaran. Diberitakan juga baru-baru ini, perubahan kurikulum membuat resah para penerbit buku pelajaran. Perubahan kurikulum yang disiapkan pemerintah disebut-sebut belum jelas, tetapi dipastikan siap dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013..

?Penerbit tentu kebingungan kalau segera diberlakukan kurikulum baru lagi. Apalagi sampai saat ini belum diketahui perubahannya, tetapi sudah diputuskan segera dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013,? kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Buku (Ikapi) Pusat Lucya Andam Dewi, saat seminar nasional bertajuk ?Menyongsong Kurikulum Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah?  di Jakarta, 29 Oktober 2012.

?Belum ada pejabat yang bersedia menjelaskan soal perubahan kurikulum. Pejabat Puskurbuk Kemdikbud hanya berpesan agar penulis dan penerbit buku teks sabar dan jangan terburu-buru membuat buku sampai kurikulum disahkan,? kata Lucya yang juga dimuat Kompas.com. Lucya menambahkan, dalam perubahan kurikulum, pemerintah juga harus memikirkan kesiapan guru dan bahan ajarnya. Apalagi guru selama ini lebih mengandalkan buku-buku panduan ataupun buku teks pelajaran dari penerbit untuk memahami kurikulum dalam pembelajaran di kelas.

Menurut Diah Harianti, pihaknya selalu mengingatkan pada para penerbit agar tidak bergantung pada pembuatan buku pelajaran sekolah saja. Pasalnya, suatu hari nanti buku pelajaran sekolah memang akan digratiskan untuk para guru dan siswa. ?Sekarang sudah ada program wajar 12 tahun yang semestinya sudah bebas biaya untuk negeri. Tapi walaupun ada yang gratis, urusan buku kadang belum sepenuhnya bebas biaya,? ujar Diah. ?Padahal urusan buku ini yang kerap dikeluhkan oleh orang tua siswa karena tidak murah. Untuk itu, buku pelajaran digratiskan ini mungkin terjadi,? ucapnya lagi.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim, juga mengakui banyaknya keluhan yang masuk karena urusan buku yang memakan biaya besar dari para orang tua siswa. Ditambah lagi, kurikulum yang berlaku saat ini memang membutuhkan buku yang banyak. ?Nanti akan disuplai langsung dari pemerintah untuk buku. Ini bisa menghemat pengeluaran pendidikan juga bagi orang tua,? ujar Musliar.

Terakhir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengakui pemerintah memang tengah mengupayakan penataan masalah perbukuan di sekolah, seiring adanya kurikulum baru. Apakah penataan itu membuat masalah buku pelajaran tidak lagi memberatkan para orangtua? Terlepas soal penataan, hal pasti dan jelas, pergantian kurikulum tentulah buku-buku pelajaran harus ikut disesesuaikan, alias harus buku baru. 

Menurut Mendikbud, proses penulisan buku teks pegangan guru dan siswa untuk Kurikulum 2013 diupayakan selesai Februari 2013 dalam bentuk buku contoh (dummy). Buku dummy itu akan dipakai pemerintah sebagai materi utama dalam pelatihan guru selama 52 jam. ?Salah satu faktor kesuksesan implementasi kurikulum adalah kesiapan buku karena itu, buku kita prioritaskan. Tanpa buku itu, tidak akan bisa pelatihan,? kata M Nuh,  di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, DI Yogyakarta, 30 Januari 2013.

M Nuh mengatakan, untuk menulis buku tidak perlu menunggu kurikulumnya selesai karena yang terpenting adalah penyiapan kompetensi dasar dari setiap tingkat kelas. Kompetensi dasar setelah dirumuskan diturunkan menjadi silabus kemudian menjadi buku. Setiap tema ada satu tim khusus untuk menyusun buku. Adapun untuk jenjang SD ada sembilan tema. ?Yang paling penting semester satu. Semuanya harus diselesaikan,? kata Nuh, seperti dimuat Kompas.com

Dikatakan juga oleh Mendikbud, pemerintah akan menata ulang mekanisme perbukuan seiring pemberlakuan kurikulum baru. Lembar kerja siswa yang sekarang beredar tidak boleh ada lagi karena sudah dimasukkan ke dalam buku pegangan. Kebijakan ini dilakukan, semata-mata untuk membebaskan lingkungan sekolah dari bisnis buku dan melindungi orangtua dan siswa. ?Sama sekali tidak ada maksud kami untuk mematikan penerbit atau percetakan,? kata Nuh.

Mengundang Pertanyaan

Terlepas dari persoalan keresahan penerbit dan pencetak buku, kekhawatiran perubahan kurikulum bakal menghabiskan banyak dana anggaran, termasuk lewat penyediaan buku, kini sudah mencuat pula.   Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah, mengatakan, kenaikan anggaran untuk pengadaan buku dan pelatihan guru pada kurikulum 2013 mengundang berbagai pertanyaan. Salah satunya adalah terkait sumber dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 1,4 triliun.

?Awalnya kan Rp 684 miliar, lalu pertemuan berikutnya naik jadi Rp 1,4 triliun. Katanya mau diambil dari DAK (Dana Alokasi Khusus). Rinciannya bagaimana? Ini harus jelas. Jangan sampai jadi Hambalang kedua,? kata Ferdiansyah saat Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (28/1/2013). Artinya,  perubahan kurikulum yang ditaksir menghabiskan biaya triliunan rupiah untuk pelatihan guru dan pengadaan buku, dapat saja menjadi lahan baru penyelewengan anggaran sebagaimana terjadi pada proyek besar, seperti skandal korupsi Proyek Hambalang.

Direktur Politeknik Media Kreatif Jakarta, Bambang Wasito Adi mengatakan, anggaran pengadaan buku sebenarnya tidak harus terlalu mahal. Hal ini berdasarkan perhitungan yang dia buat. ?Untuk buku SD dengan kualitas bagus yaitu kertas yang bagus dan berwarna, jika dicetak sekitar lima juta eksemplar dengan jumlah halaman sebanyak 80 halaman per buku maka harga satu buku sekitar Rp 4.700 atau dibulatkan menjadi Rp 5000,?  kata Bambang.

Jika Bambang benar, tentu saja kecurigaan bakal ada penyelewengan cukup beralasan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menganggarkan harga satuan buku sebesar Rp 42.000 dengan estimasi 200 halaman dan akan dicetak sekitar 57 juta eksemplar untuk semua jenjang pendidikan. ?Kalau hitungan sebelumnya tadi dengan perkiraan 200 halaman, paling tidak harga satuannya jadi Rp 12.500. Tapi untuk anak sekolah apalagi anak SD, 200 halaman itu banyak sekali. Ideal ya antara 70 atau 80 halaman,? kata Bambang berkomentar di DPR.

Berdasarkan perhitungan Bambang itu, maka anggaran sebesar Rp 1 triliun khusus untuk pengadaan buku memang terlalu besar. Tidak salah kalau DPR dan pengamat meminta Kemdikbud mengklarifiksi  rincian anggaran tersebut kepada publik sehingga tidak muncul tuduhan penyelewengan anggaran atau korupsi terkait pengadaan buku pada kurikulum baru ini.

Belum lagi, disebut-sebut pula bahwa pergantian kurikulum atau tidak, harga buku yang digunakan oleh siswa tetap saja bertambah mahal tiap tahun ajaran. ?Sekarang buku masih mahal. Padahal sebenarnya buku bisa murah. Pemerintah harus bekerja untuk ini. Yang membuat mahal, saya kira di luar aspek produksi. Biasanya terkait dengan tata niaganya. Ini yang harus dihapus. Saran saya ini harus diintervensi pemerintah. Pencetakannya boleh oleh swasta tapi tata niaga ini harus diatur. Jangan seperti sekarang, turun ke penerbit kemudian dijual sekolah atau guru,? ucap Bambang Warsito Adi, saat Rapat Dengar Pendapat Umum di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (28/1/2013).  (Kompas.com).

Sikap antipati, curiga, bahkan rasa jengkel kalangan orangtua terhadap masalah buku sekolah sudah lama kita ketahui, terlepas ada tidak ada perubahan kurikulum. Sedangkan tanpa perubahan saja, buku pelajaran suka berbeda, walau isinya sebenarnya sama, apalagi kini dengan adanya kurikulum baru. Tudingan adanya mafia, persekongkolan antara pihak sekolah dan distributor atau bahkan penerbit buku sering mengemuka, tanpa ada upaya nyata pemerintah mengatasinya. Nah akankah, Kemendikbud kini benar-benar dapat mengatasi mafia buku pelajaran sekolah bersamaan dengan pergantian kurikulum? Mari, kita nantikan saja! ***

Baca selengkapnya di :
http://madina.co.id/refleksi/kurikulum-baru-dan-mafia-buku/

33
Buku BSE (Buku Sekolah Elektronik) / Mafia Buku vs Permendiknas
« on: February 11, 2014, 02:45:27 PM »
Mafia Buku vs Permendiknas

Oleh : Didik M. Riyadi



Permendiknas No. 2 tahun 2008, tentang pembelian hak cipta buku pelajaran SD ? SMA/SMK, bagaimana kabarmu ? Kebijakan yang sangat adaptif dan populis itu apakah sudah dilaksanakan, dengan hasil yang signifikan ? ATaukah kembali mentok, kalah oleh mafia buku yang sudah dengan sangat rapi dan sistematis menggarap hulu hingga hilir peredaran buku pelajaran di tanah air tercinta ini ? Kalau sampai kebijakan menteri yang bertujuan sangat mulia itu kalah juga oleh kepentingan bisnis, maka siap-siaplah para orang tua untuk kembali merogok kocek lebih dalam lagi, setelah di ?gempur? berbagai uang masuk dan iuran bulanan, iuran akhir pelajaran, dana sukarela tali asih guru kelas dan lainnya; untuk pembelian banyak buku pelajaran anaknya, pada setiap tahun ajaran baru.

Benar sekali, orang tua mesti termangu-mangu menerima seabrek buku pelajaran baru dari anaknya dalam kemasan yang luks, gambar berwarna yang sungguh menarik, tapi dengan harga yang selangit. Buku pelajaran tahun lalu ? Masuk ke keranjang sampah. Saya, yang kebetulan mempunyai anak kelas 4 dan kelas 5 SD, sangat merasakan hal itu, di mana buku pelajaran milik kakaknya tidak dapat diwarisi oleh adiknya. Sekolahan memunculkan buku pelajaran baru, meski saat iseng-iseng saya teliti, isi dan materinya sama. Perubahan di sana-sini yang dilakukan penerbit, sangat tidak signifikan dengan beban yang harus ditanggung orang tua. Itu ulah siapa ? Ternyata, mata rantainya sangat panjang, mulai dari oknum penerbit, percetakan, oknum birokrat di diknas pusat hingga kecamatan, makelar, sampai kepada kepala sekolah dan guru. Mereka membentuk jaringan yang teratur, rapi dan sangat terkoordinasi. Mereka mirip mafia. Benar, mafia yang bergerak di dunia buku pelajaran.

Mafia Buku ? Makhluk apa lagi itu ? Apa hubungannya dengan mafia hukum dan mafia pajak serta mafia lainnya ?


Dana mubazir

Indonesia saat ini mempunyai sekitar 150 penerbit buku pelajaran dengan omzet rata-rata per penerbit Rp 10 milyar per tahun. (Junaidi Gafar, Kompas 24/3). Menurut seorang teman yang bergerak di dunia percetakan dan penerbitan, alokasi pembiayaan sebuah buku pelajaran mulai dari naskah hingga jadi buku dan siap di pasarkan ke konsumen, besarannya adalah, 50 ? 55 persen ternyata digunakan untuk promosi dan distribusi. Sementara untuk biaya cetaknya antara 10 ? 15 persen. Sedangkan untuk honor penulisnya, dipatok harga hanya 10 persen. Sisanya yang antara 20 hingga 30 persen adalah keuntungan penerbit.

Yang gampang saja, untuk sebuah buku pelajaran seharga Rp 10.000 misalnya, ? (red: harga buku pelajaran sekarang bervariasi, mulai dari Rp 5.000 yang memakai kertas CD hingga Rp 30.000 atau bahkan lebih, yang full colour dan bagus) ?.kalau dipotong 50 persen untuk promosi distribusi, 10 persen biaya cetak dan 10 persen royalty penulisnya, penerbit masih untung Rp 3.000 / buku. Kalau mereka bisa masuk ke satu sekolah dengan murid 1000 orang saja, keuntungannya sudah Rp 3 juta. Bagaimana kalau mereka bisa masuk ke 10 sekolahan dengan murid 10.000 orang, keuntungan bersih mereka Rp 3.000 x 10.000 = Rp 30 juta rupiah. Kalau satu kabupaten ?

Padahal mereka biasanya menjual 5 ? 10 buku pelajaran untuk setiap kelas. Untuk SD yang mempunyai kelas 1 ? 6 misalnya, kalau masing-masing kelas mempunyai rata-rata 3 kelas saja dengan murid masing-masing 30, maka jumlah muridnya : 6 x 3 x 30 = 540 orang. Kalau di sekolah itu penerbit rata-rata menjual 5 jenis buku pelajaran saja, keuntungan yang didapat dengan harga buku rata-rata Rp 10.000 bisa dilihat : Rp 3.000 x 5 x 540 orang murid = Rp 8.100.000. Kalau mereka bisa masuk ke 10 sekolahan ? Satu Kabupaten ? Silahkan hitung sendiri.

?Semakin besar oplah buku, semakin turun biaya promosi distribusi dan cetaknya. Jadi kalau kemudian ada yang menulis omzet sebuah penerbitan besar buku pelajaran sekitar Rp 10 milyar per tahunnya, itu bisa lebih. Bahkan, sebuah penerbitan yang bisa masuk dan menguasai (bisa dibaca monopoli) sebuah kabupaten, untuk SD hingga SMA/ SMK, untuk mendapatkan keuntungan Rp 10 milyar tidak usah menunggu hingga setahun,? ungkap teman yang merasa tidak perlu disebutkan namanya itu, karena takut bersinggungan dengan teman-temannya.

Waduh!?

Jadi penerbit buku pelajaran selama ini sudah menangguk keuntungan yang demikian besar ya ? Dan yang jadi korban, kita, para orang tua yang mempunyai anak yang masih sekolah ?

Diakui atau tidak, penerbit buku pelajaran sudah banyak diuntungkan selama ini. Mereka telah demikian rakusnya (kalau bisa dikatakan demikian), menggelontorkan berbagai buku pelajaran setiap tahunnya, tanpa pernah mau peduli dengan kemaslahatan orang banyak. Keluhan para orang tua di tiap tahun ajaran baru, seolah menjadi semilir angin yang melenakan, yang malah meninabobokkan. Beban berat yang harus dipikul orang tua karena harus menyiapkan uang buku ratusan ribu rupiah, sama sekali tidak mengusik mereka.

Kalau saja mereka mau sedikit saja peduli dan berempati dengan masyarakat? Betapa senangnya, saat sang adik bisa mewarisi semua buku pelajaran milik kakaknya seperti yang pernah dilakukan pemerintah masa orba lalu. Betapa bahagianya para orang tua saat melihat sang kakak mengajari sang adik pelajaran yang pernah dia terima tahun lalu. Kalau saja dana trilyunan rupiah keuntungan para penerbit itu bisa sedikit saja dialokasikan untuk kemaslahatan umat.


Medan perang

Untuk membawa para penerbit buku pelajaran mau ikut serta mencerdaskan anak bangsa dengan menerbitkan buku pelajaran murah dan bisa diwarisi adik kelasnya, sehingga bisa memunculkan pendidikan murah tapi bermutu, ternyata masih jauh dari harapan. Sebab, ?mereka kan belum kaya raya mas. Mereka masih butuh duit yang lebih banyak lagi. Kalau mereka sudah merasa cukup dan harus berhenti ?mencetak? duit, untuk mulai beribadah dan ber amal sholeh, barulah mereka bisa diajak untuk ikut mencerdaskan anak bangsa tanpa harus mencekik leher orang tuanya dengan beban uang buku yang mahal,? ungkap sang teman.

Pendidikan bermutu dan murah, adalah hak setiap warga. Permendiknas No. 2 tahun 2008 sebenarnya sebuah jawaban untuk itu. Tapi kenyataan di lapangan ternyata tidak seperti idealisme yang diusung permendiknas itu. Di lapangan, adalah medan perang bagi para penerbit untuk penetrasi pasarnya. Segala cara kemudian dilakukan, agar sebuah sekolahan mau terikat kontrak jangka panjang, memakai buku-buku terbitannya. Kalau perlu dengan memberikan bonus dan potongan harga besar, agar buku milik penerbit lainnya bisa disingkirkan.

Pemberian bonus dan aneka trik serta langkah pat gulipat penerbit agar bisa masuk ke sebuah sekolah kemudian muncul dengan gamblangnya saat seorang teman yang menjadi supervisor sebuah penerbitan membuka mulut. Menurut sang teman, banyak penerbit yang siap dan bersedia memberikan bonus mulai dari alat-alat elektronik macam tape, sound system hingga kulkas dan bahkan sepeda motor. Imbalannya, kontrak jangka menengah hingga panjang dari sekolah untuk memakai buku-buku pelajaran terbitan mereka. Sebuah mobil, bahkan siap diberikan kalau mereka berhasil masuk ke sebuah yayasan, yang mengelola pendidikan mulai dari TK hingga SMA/ SMK.

Sayangnya, masih banyak kepala sekolah atau penentu kebijakan di sebuah sekolah yang demikian lugu dan jujurnya, sehingga dengan gampangnya mengikat kontrak dengan penerbit hanya dengan imbalan diskon dan atau rabat yang kompetitif. Padahal kalau mereka mau sedikit saja menawar, sekolahan mereka bisa mendapatkan sepeda motor dengan gratis misalnya , atas kontrak pemakaian buku pelajaran terbitan sebuah penerbit.

Oknum diknas juga sering di?mintai? bantuannya untuk memberikan rekomendasinya. Dalam pola tataran birokrasi yang masih sangat tradisional, di mana apa yang dikatakan atasan (para oknum pejabat diknas), dianggap seperti sabdo pandito ratu, maka rekom itu menjadi sangat manjur untuk mereka masuk ke sekolah. Peran makelar, juga mengemuka di jalur perang para penerbit untuk masuk ke sekolah-sekolah. Hanya, menurut sang teman, di era otonomi ini sekolah terkadang berani ?membiarkan? rekom itu, dan terus memberikan jawaban diplomatis, untuk akhirnya menolak rekom itu. Kalau mau jujur peredaran buku pelajaran saat ini sudah menjadi jalur perang, bagi banyak penerbit.

Saat para penerbit sama banting harga dengan memberikan diskon dan bonus, seharusnya yang diuntungkan adalah konsumen. Benar, kalau konsumen yang disebut itu adalah pihak sekolah. Tapi anak didik yang menjadi konsumen langsung bagaimana ? Mereka tetap harus membeli buku pelajaran itu dengan mahal, karena sekolah menjualnya sesuai dengan harga bandrol yang tercantum di bukunya. Jadi yang diuntungkan sekali lagi, sekolahan. Orang tua murid ? Tidak!


Sebuah jawaban ?

Permendiknas No. 20 tahun 2008. dapatkah menjadi jawaban atas kebutuhan buku murah menuju pendidikan murah dan berkualitas ? Ternyata masih banyak kendala yang harus dihadapi di lapangannya. Kebebasan untuk mengunduh banyak buku pelajaran via internet belum sepenuhnya dilaksanakan oleh tenaga didik dan pendidik. Kesibukan para guru dengan beban administrasi yang demikian banyak, menjadi salah satu alasan. Alasan lainnya, tidak adanya waktu karena semua tenaga dan pikiran sekolahan di fokuskan pada bagaimana menyiapkan anak didik yang harus ikut UN agar bisa lulus 100 persen. Mereka, para guru tidak mempunyai waktu untuk menjilid atau mencetak kembali buku hasil unduhan itu, dalam sebuah kemasan yang menarik bagi muridnya sebagaimana buku pelajaran yang diterbitkan penerbit. Kalaupun mereka mau dan ada waktu, kalkulasi biaya untuk mencetak dalam format sebuah buku pelajaran yang menarik, jatuhnya ternyata terpaut sedikit, terkadang sama bahkan lebih mahal dibandingkan buku pelajaran yang sudah ada.

Idealisme yang diusung permendiknas itu, di mana guru akan bisa mengembangkan kompetensinya dengan berinovasi atas proses KBM lewat buku unduhan dari internet itu, dilapangan ternyata menghadapi banyak kendala. Semuanya akhirnya kembali kepada semua jajaran diknas dari pusat hingga kecamatan, apakah mereka mau dan mampu serius mengawal permendiknas yang akan membeli hak cipta banyak penulis buku pelajaran , yang ternyata sudah dilakukan Jepang pasca bom atom Nagasaki Hirosima dulu sehingga menjadi bangsa Jepang menjadi besar seperti sekarang ini ?

Semuanya tentu saja agar, mafia buku yang saat ini sudah demikian sistematis dan rapi menggarap dari hulu hingga hilir peredaran buku pelajaran, bisa dilokalisir dan kalau perlu disingkirkan. Sehingga , pertama: buku pelajaran menjadi murah. Dan kedua: para orang tua tidak harus berteriak keras di tengah lautan luas dan sia-sia, atas makin mahalnya uang buku anaknya. Bagaimana Kemendiknas ? (dmr)

Baca Lengkap di :
http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/21/mafia-buku-vs-permendiknas-593755.html

34
Bisnis Buku Ketika Mafia Masuk ke Dunia Pendidikan



Buku adalah gudang ilmu. Namun, bagi penerbit dan jaringan mafia buku, buku juga termasuk lahan uang. Bisnis buku pelajaran yang memberikan keuntungan menggiurkan telah membuat penerbit berebut untuk mendapatkan proyek buku dari pemerintah daerah. Kalau proyek pencetakan buku dari pemerintah tidak berhasil didapatkan masih ada celah besar yang menjadi sumber pundi uang: menjual buku langsung ke sekolah!
 
Untuk menjual buku langsung ke sekolah tentu bukan hal mudah. Perlu ada pendekatan perlahan-lahan kepada para kepala sekolah. Bagian promosi dan pemasaran sebuah penerbit tidak boleh pelit. Tujuan akhir penerbit mendekati kepala sekolah tentu bukan untuk memberikan hadiah cuma-cuma, tetapi untuk jualan. Ya, jualan buku langsung ke sekolah lebih menguntungkan karena lebih pasti terjual. Itu karena para siswa mau tidak mau harus membeli buku sesuai ketetapan sekolah.
 
Kalau sekolah menetapkan buku Bahasa Indonesia untuk kelas 6 tahun ajaran 2011 harus memakai buku terbitan Penerbit Airlangga, misalnya, maka para siswa tidak bisa menolak. Mereka harus membeli buku terbitan Airlangga agar pelajaran di sekolahnya tidak ketinggalan.
 
Jualan buku langsung ke sekolah inilah yang sering disebut sebagai ?mafia buku?. Meskipun disebut ?mafia?, pelakunya tidak seseram pemeran mafia ala film Hollywood. Anggota mafia itu bisa jadi adalah orang yang dekat dengan kita. Bahkan, aktivis Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung memiliki beberapa kawan baik yang akhirnya terjun menjadi mafia buku yang jaringannya menguasai Sumatera bagian selatan. Salah satu pentolan mafia buku itu juga menawari aktivis KoAK Lampung untuk bisnis buku dengannya.
 
?Janganlah bicara buku pelajaran yang agak mahal. Dari bisnis Lembaran Kerja Siswa (LKS) saja kita sudah untung besar. Modal cetaknya per mata pelajaran hanya Rp 5 ribu. Dijual Rp 6 ribu ke sekolah kita sudah untung. Kalau guru menjual Rp 7 ribu/LKS atau Rp 10 ribu/LKS berarti keuntungan dia sebesar seribu rupiah hingga Rp4 ribu/buku,? ujar mafia buku itu, sebut saja Rodi,  sambil tertawa lepas.
 
Menurut Rodi, kepala sekolah memegang peranan penting dalam bisnis buku di sekolah. ?Kalau tanpa izin kepala sekolah, mana mungkin kami bisa langsung jualan ke sekolah. Kami diberi ruang gratis di halaman sekolah.Ya tentu saja, sesudahnya kami tetap memberikan fee,? ujarnya.
 
Karena jualan buku di sekolah tergolong mudah itulah Rodi mengaku tidak khawatir dengan adanya program Buku Sekolah Elektronik (BSE). ?Banyak kepala sekolah dan guru masih gagap teknologi. Mereka lebih mudah dirayu memakai buku kami ketimbang repot-repot mengunduh buku dari internet. Lagi pula, kami juga memberikan pembagian keuntungan kepada mereka,? kata Rodi.
 
Berapa fee yang dibagikan penerbit? ?Besarnya 40 sampai  60 persen. Tapi itu dibagi kepada beberapa pihak,? kata Rodi.
skandal-dana-bos

?Karena tertarik dengan fee, maka pihak sekolah sering memaksa siswa membeli buku pelajaran yang diterbitkan penerbit tertentu. Padahal, pemerintah sudah menyiapkan buku sekolah elektronik yang bisa didownload secara gratis,? kata koordinator KoAK Lampung Ahmad Yulden Erwin.
 
?Sebab itu kami mendesak Menteri Pendidikan Nasional bersikap tegas. Untuk apa pemerintah membeli royalti buku sekelolah elektronik kalau buku elektronik tidak dipakai para siswa?? ujarnya.
 
Menurut Erwin, selain mengoptimalkan program buku sekolah elektronik (BSE), untuk mempersempit ruang gerak mafia buku yang memberatkan wali murid, sekolah harus memanfaatkan koperasi sekolah. Sekolah dapat melakukan inisiatif mencetak buku yang termasuk BSE. Dengan demikian, biayanya akan jauh lebih murah ketimbang membeli. Sedangkan guru sebagai anggota koperasi tetap mendapat keuntungan, dan wali murid dapat membeli buku dengan harga terjangkau.
 
?Jadi, sebenarnya sekolah juga masih bisa mendapatkan uang halal dari pencetakan buku yang kemudian dijual kepada para siswa. Harga cetak per buku  mata pelajaran bisa di bawah Rp 10 ribu, sementara dari penerbit rata-rata sudah di atas Rp 20 ribu/buku. Itulah yang memberatkan para orang tua siswa,? kata Erwin.
 
BSE merupakan buku teks mata pelajaran untuk siswa SD, SMP, dan SMA yang royaltinya sudah dibeli Kementerian Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Dengan adanya BSE itu diharapkan semua sekolah di Indonesia bisa mendownload BSE dari website milik Kementerian Pendidikan Nasional (www.kemdiknas.go.id) secara gratis.
 
?Ironisnya, meskipun sudah diberi kemudahan tetapi sebagian besar kepala sekolah lebih memilih membeli buku teks dari penerbit. Bahkan, sebagian besar kepala sekolah di Lampung sudah menjadi bagian dari jaringan mafia buku. Inilah yang merugikan para orang tua karena mereka terpaksa harus membeli buku untuk anaknya hingga ratusan juta rupiah,? kata Erwin.
 
Mafia buku selama ini menjalankan aksinya dengan leluasa karena tidak ada sanksi yang tegas dari aparat hukum. Padahal, komplotan tersebut bisa dijerat dengan pasal berlapis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 
Seorang anggota mafia buku mengaku bisnis buku di sekolah sangat menguntungkan. ?Kuncinya, kalau kita sudah bisa mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan, maka kita akan gampang masuk ke sekolah-sekolah. Menjual langsung ke sekolah akan lebih menguntungkan karena akan memutus mata rantai distribusi. Penerbit juga tidak akan terbebani biaya promosi,? kata dia.
 
Menurut dia, agar bisa menjual buku langsung ke sekolah dia rajin berbagi rezeki berupa fee. ?Ketimbang diberikan kepada toko buku, lebih baik fee itu diberikan kepada kepala sekolah dan guru.Sebab, jumlah penjualannya lebih jelas,? ujar anggota mafia yang juga menawari Sapu Lidi untuk berjualan buku ke sekolah.
 
?Wartawan akan mudah sekali menjual buku ke sekolah. Kepala sekolah mudah digertak,? ujarnya sambil tertawa lepas.
 
Prof. Dr.  Sutopo Ghani Nugroho, aktivis Kaukus Pendidikan Lampung yang juga ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung, mengatakan untuk memutus mata rantai mafia buku pemerintah daerah dan DPRD bisa membuat peraturan daerah (perda) tentang buku.
 
?Peraturan daerah perlu dibuat dan diberlakukan karena pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional tidak membuat peraturan pemerintah (PP) tentang buku elektronik. Akibatnya, banyak kepala sekolah dan guru justru terlibat dalam mafia buku. Jika mafia buku akan diberantas, setiap daerah di Indonesia harus punya perda tentang buku yang mengatur pengadaan buku sekolah. Kalau perlu ada anggaran khusus untuk buku sekolah,? kata Sutopo.

buku-pelajaran
Sutopo mengatakan jika pemerintah daerah memiliki cukup anggaran, biaya cetak BSE dapat dialokasikan dari APBD agar harga buku jauh lebih murah dibandingkan harga dari penerbit.
 
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, Sukarma Wijaya, mengatakan meskipun sekolah sudah menetapkan buku yang harus dimiliki para siswa, tetapi para guru dilarang memaksa para siswa membeli buku di sekolah.
 
?Kami akan akan memberikan sanksi jika ada guru yang mewajibkan pembelian buku. Ada yang salah dalam penyampaian guru di sekolah sehingga ditafsirkan membeli buku itu menjadi kewajiban. Yang penting adalah siswa tetap bisa mendapat bahan ajar saat pelajaran berlangsung. Siswa boleh memfotokopi atau meminjam materi pelajaran,? kata Sukarma Wijaya.
 
Sukarma Wijaya berjanji akan mencopot jabatan atau memutasikan kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam jaringan mafia buku. ?Kalau ada, laporkan saja. Jika kepala sekolah terlibat itu  berarti sudah tidak mau lagi menjadi kepala sekolah di Bandar Lampung,? tegasnya.
 
Sukarma mengaku pernah ada laporan ada siswa yang takut masuk sekolah lantaran dipaksa guru membeli buku pelajaran tertentu. ?Jika benar-benar terbukti memaksa siswa membeli buku, guru yang bersangkutan yang akan saya keluarkan,? ujarnya.
 
Soal insentif atau fee yang diberikan penerbit kepada pejabat Dinas Pendidikan, guru, dan kepala sekolah, Sukarma membantahnya. Menurut dia adanya insentif dari penerbit harus dilihat kembali, apakah insentif itu berupa uang atau dalam bentuk lain, seperti beasiswa.
 
?Guru hanya mengantongi izin dari dinas untuk melanjutkan studi, tidak untuk pendanaan. Jika penerbit mau bekerja sama, ya tidak ada persoalan. Sementara soal setoran untuk kepala dinas dari penerbit, itu semua tidak ada,? kata dia..
 
Memasuki tahun ajaran baru, wali murid mengeluhkan mahalnya harga buku paket dari sekolah. Harga satu paket buku (terdiri atas beberapa buku mata pelajaran) bervariasi. Nilainya  antara Rp250 ribu hingga Rp1,2 juta per siswa.
 
Susanto, 43, orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SMP Negeri 1 Bandarlampung, mengaku harus menyediakan uang hingga Rp 750 ribu pada tahun ajaran bary untuk membeli buku.
 
?Setiap kenaikan kelas, anak saya harus membeli buku baru . Semua buku baru. Buku kakaknya tidak dipakai lagi,? ujarnya.
 
Beberapa kepala sekolah mengaku terpaksa mewajibkan para siswa membeli buku dari penerbit tertentu karena buku buku-buku yang dibeli dengan dana biaya operasional sekolah (BOS) sering bukan buku penunjang mata pelajaran utama.
 
Untuk siswa Sekolah Dasar, buku yang didanai BOS hanya buku pelajaran olahraga, sementara untuk siswa SMP hanya dua buku yaitu buku olahraga dan buku kesenian. (Oyos Saroso H.N./Mas Alina Arifin/Al Gaffary)

Baca selengkapnya di :
http://www.koaklampung.org/tentangkoak/profilkoak/selayangpandang/71-bisnis-buku-ketika-mafia-masuk-ke-dunia-pendidikan.html

35
Buku BSE (Buku Sekolah Elektronik) / Buku Sekolah, Dulu dan Sekarang
« on: February 09, 2014, 09:38:27 AM »
Buku Sekolah, Dulu dan Sekarang



 Kemarin hampir seharian saya berkutat dengan buku, bukan buku bacaan melainkan buku-buku sekolah anak-anak saya. Dari buku-buku tulis lama yang menurut saya masih bisa dimanfaatkan hingga buku pelajaran sekolah baru.

Apa yang saya lakukan untuk buku tulis lama sempat saya buat menjadi status di Facebook demikian ? Kalau tahun ajaran baru sebenernya gak perlu beli buku tulis baru, cukup ganti sampul plastik sama ganti kelasnya aja, karena setahun yang terpakai gak sampai setengahnya #kalau emak2 kayak gini semua tukang jualan buku sepi.?

Ada kompasianer yang mengomentari status Facebook saya tersebut dengan tertawa dan menyebut ?Emak Pelit? dan saya tahu itu sebatas candaan dan dalam hati mengagumi hehehe. Apa yang saya lakukan ini memang terkesan pelit (tepatnya mungkin irit/hemat kali ya *bela diri) tetapi saya punya alasan kuat mengapa melakukan hal tersebut.

Penggunaan buku tulis sekolah anak-anak saya ini berbeda dengan saat saya sekolah dulu (thn 80-90 an). Dulu satu mata pelajaran hanya membutuhkan satu buku tulis, bahkan anak laki-laki waktu SMA dulu hanya menggunakan satu buku tulis untuk semua mata pelajaran hehehhe. Sekarang, saat anak saya sekolah, satu mata pelajaran memerlukan 3 buah buku tulis, yakni untuk PS, PR dan catatan, sehingga untuk 10 mata pelajaran memerlukan 30 buah buku belum termasuk 2 buku menulis halus dan 3 buku tulis kotak untuk mandarin.

Jadi, karena buku yang digunakan terpisah-pisah dan soal latihan lebih banyak dikerjakan di buku cetak dan di majalah cerdas (buku latihan soal seperti LKS), maka dalam satu tahun  satu buku hanya terpakai beberapa lembar, sehingga sayang bila dibuang.

Cara saya memanfaatkannya sengaja tidak dengan merobek-robek bagian yang sudah terpakai karena akan merusak buku,  tetapi saya hanya menggunakan buku tersebut sebagai buku untuk tugas yang sama dan untuk mata pelajaran yang sama, contohnya buku untuk PS Agama di kelas 1 akan saya gunakan kembali untuk PS Agama di kelas 2 dan saya hanya mengganti sampul plastik, mengganti kelas dan memberi batas pada halaman terakhir lembar terpakai dan menulis ?Kelas 2 Semester 1″

Anak saya tidak protes dan pihak sekolah pun tidak mempermasalahkan karena buku tulis tersebut masih dalam keadaan rapi dan kegiatan ini sudah saya lakukan sejak anak pertama saya masih di Sekolah Dasar kelas 2.

Buku Pelajaran Sekolah.

Sama halnya dengan buku tulis, penggunaan buku pelajaran saat saya sekolah dulu berbeda dengan anak-anak saya.

Sebelum ke penggunaan buku, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg mengenai ukuran buku pelajaran sekolah sekarang ini. Ukuran buku pelajaran sekolah sekarang tidak seragam, bahkan dengan penerbit yang sama mata pelajaran berbeda ukuran bukunya tidak sama.

Perbedaan ukuran buku ini bukan saja tidak enak di lihat karena tidak seragam tetapi juga cukup merepotkan saat menyampulnya, terlebih untuk ukuran buku yang lumayan besar, yang tidak dapat menggunakan sampul buku jadi.

Terus terang saya bertanya, apa tujuannya dibuat berbeda-beda dan mengapa harus dibuat ukuran besar? Mengapa tidak diseragamkan saja seperti saat dulu saya sekolah.

Mengenai penggunaan buku pelajaran sekolah, saat saya sekolah dulu hampir dapat dikatakan sejak SD hingga SMA saya tidak pernah membeli buku pelajaran sekolah, karena buku pelajaran yang saya gunakan adalah buku turun temurun dari kakak-kakak saya.

Sekarang ini,  setiap tahun sekolah menjual buku baru, walau kurikulum tidak berganti, murid tetap harus membeli buku baru, karena biasanya sekolah mengganti buku yang digunakan dengan pengarang dan penerbit berbeda, atau bila sama pun biasanya buku tidak dapat digunakan adiknya karena buku sudah diisi dengan jawaban soal (tugas dikerjakan di buku cetak).

Harga-harga buku tersebut tidaklah murah, untuk satu tahun pelajaran dapat mencapai Rp. 660.000,-.

Untuk sekolah negeri, mungkin buku-buku tersebut dapat dipinjamkan secara gratis, tetapi mengingat penerimaan siswa di sekolah negeri terbatas (biasanya seleksi berdasarkan NEM), maka bagaimana dengan nasib anak-anak sekolah yang NEM nya tidak terlalu tinggi dan berasal dari keluarga yang tidak mampu? Untuk membayar uang sekolah saja mungkin berat, apalagi bila ditambah harus membeli buku setiap tahun.

Sudah menjadi rahasia umum bila sekolah akan mendapatkan keuntungan dari penjualan buku-buku (baik keuntungan langsung maupun fee dari penerbit) tetapi bila ada aturan yang jelas mengenai penggunaan buku yang tidak memberatkan orang tua murid, maka setidaknya, untuk yang tidak mampu dapat meminjam buku dari kakak kelasnya atau untuk yang memiliki kakak, tidak harus membeli buku pelajaran baru setiap tahun atau lebih bagus lagi bila ada aturan bahwa dana BOS digunakan untuk penyediaan buku yang dapat dipinjamkan kepada murid selama setahun.

Selamat memasuki tahun ajaran baru, semoga pendidikan di Indonesia lebih baik.

Baca selengkapnya di :
http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/11/buku-sekolah-dulu-dan-sekarang-575859.html

36
Sejuta Tablet Android Untuk Anak Sekolah Dasar



Upaya pemerintah negeri gajah putih untuk membagi-bagikan sejuta tablet Android kepada anak-anak sekolah dasar dalam rangka proyek "One Tablet per Child (OTPC)" kini mulai direalisasikan.Menurut berita yang disiarkan BangkokPost.com, pengiriman pertama sebanyak 55.000 telah dilakukan untuk siswa-siswa SD disekitar Bangkok.

Atas persetujuan guru masing-masing, siswa diperkenankan membawa pulang tablet pelat merah tersebut untuk digunakan dirumah. Peluncuran perdana truk-truk untuk membagi-bagikan perangkat dalam kardus berlabel OTPC telah bergerak sejak hari kamis lalu yang dihadiri langsung oleh Menteri Pendidikan Suchart Thada-Thamrongvech dan Menteri Teknologi Informasi dan Komunikasi (ICT) Anudith Nakornthap.

Sebagaimana diwartakan The Nation bulan April lalu, pada awal tahun 2012 kabinet negara Thailand menyetujui pengadaan satu juta tablet, sementara Bangkok Post menyebutkan 800.000 keping tablet Android yang telah diorder dari vendor asal China.

Berdasarkan pemberitaan dari sebuah portal IT Telecompaper, diungkapkan spesifikasi tablet untuk anak sekolahan Thailand dengan tipe Scopad SP0712 besutan perusahan Scope dari negeri tirai bambu. Tablet berbobot sekitar 350 gram tersebut, ditenagai menggunakan prosesor Cortex A8 berkecepatan 1.2 GHz, dan menanamkan 1 GB RAM untuk ruang kerja disamping 8 GB memori Flash untuk penyimpanan data. Celah untuk menyisipkan 32 GB kartu memori tambahan juga tidak dilupakan.

Komputer tablet yang dibagi-bagikan, memiliki layar sentuh kapasitif berukuran diagonal 7 inci yang peka dicubit dengan resolusi 1024x600 titik. Tablet anak sekolahan ini memiliki sejumlah fitur termasuk GPS, WLAN dan Bluetooth seperti juga port USB-2-Port disamping dua kamera untuk memotret dan chat video. Pemasok tablet dengan nama lengkap "Shenzhen Scope Scientific Development" disebutkan menjual tablet yang menyertakan Ice Cream Sandwich (Android 4.0) sebagai Sistem Operasi Open Source (berbasis kernel Linux) kepada pemerintah Thailand dengan harga 81 US-Dollar per keping.

Baca selengkapnya di :
http://gudanglinux.blogspot.com/2012/07/sejuta-tablet-android-untuk-anak.html

37
Salah Kaprah tentang Buku Sekolah Elektronik



 Buku Sekolah Elektronik (BSE) merupakan salah satu terobosan kebijakan pemerintah yang patut dipuji. Idenya sederhana saja. Pemerintah (Kemdiknas) membeli hak cipta buku-buku sekolah di berbagai jenjang pendidikan (SD, SLTP, SLTA, termasuk SMK), kemudian buku tersebut diunggah ke website yang sengaja dibuat (http://bse.kemdiknas.go.id) sehingga bisa diunduh dan diperbanyak oleh siapa saja secara gratis. Kalau sudah diunduh dan dicetak, mau dijual ke orang lain juga boleh, asal tidak melampaui harga maksimalnya. Harapannya adalah anak-anak Indonesia tidak lagi menghadapi masalah dalam membeli buku. Hingga saat ini sudah lebih dari 900 judul buku yang tersedia di situs BSE.

Sayangnya, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan BSE ternyata masih sangat terbatas. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena memang tidak ada kewajiban untuk memakainya, yang ada hanya anjuran. Sekolah/guru lah yang pada akhirnya menentukan buku yang dipakai di sekolah, bukan siswa atau orang tuanya. Jadi, meskipun sudah ada himbauan agar sekolah memakai BSE, tapi kalau guru/sekolah memutuskan untuk memakai buku lain (yang tidak ada dalam BSE), maka siswa/orang tua tidak akan bisa berbuat apa-apa kecuali membelinya. Dalam kasus seperti itu, yang tidak punya uang akan terpaksa belajar tanpa memakai buku.

Meskipun jelas-jelas memberatkan orang tua, dan membiarkan BSE mubazir, langkah itu banyak diambil oleh para guru/sekolah, terutama karena iming-iming diskon yang diberikan oleh penerbit. Alasan ?resmi? yang disampaikan oleh guru/sekolah tentu saja bukan itu, tapi saya pribadi tidak percaya. Saya juga tidak percaya, kalau guru/sekolah bilang ?tidak pernah menjual buku? atau mendapatkan keuntungan dari pengadaan buku pelajaran, karena ?resmi?-nya memang bukan sekolah yang menjual, tapi koperasi sekolah. Tidak perlu menjadi jenius untuk tahu kaitan antara koperasi sekolah dengan para guru dan pengelola sekolah.

Selain persoalan minimnya ?niat baik? dari pihak guru/sekolah, rendahnya penggunaan BSE juga dipicu oleh kesalahan pemahaman tentang cara mengakses dan menggunakan BSE. Hingga saat ini ternyata masih cukup banyak yang mengira BSE hanya bisa diakses dan dibaca dengan menggunakan komputer (baik secara online maupun offline). Akibatnya, banyak sekolah/guru yang tidak memakai BSE dengan alasan tidak tersedia komputer atau jaringan internet untuk membacanya. Padahal pengertian ?buku elektronik? dalam hal ini adalah buku yang disediakan secara elektronik, bukan buku yang harus dibaca secara elektronik.

Seperti yang disebut di awal, BSE memang tersedia secara elektronik, tetapi dapat diunduh, dicetak dan diperbanyak oleh siapa saja. Jadi untuk satu sekolah, misalnya, tidak perlu semua orang mengunduh. Kalau sarana komputer/internet terbatas, cukup satu orang (guru) saja yang mengunduh, kemudian mencetak dan memperbanyak untuk keperluan siswa. Idealnya, pencetakan dan perbanyakan buku itu bisa dibiayai dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kalau pun tidak, siswa yang berminat dan tidak mau mengunduh sendiri bisa diminta membeli di Koperasi Sekolah dengan harga sangat murah (untuk ongkos fotokopi dan penjilidan, tidak sampai Rp 15 ribu per buku).

Jadi kalau guru/sekolah memang punya niat baik, hal itu sangat mudah dilakukan. Kalau tidak punya komputer atau sambungan internet, mereka bisa datang ke warnet untuk mengunduh dan kalau perlu mencetaknya sekalian.

Tapi justru itulah persoalannya.. Dalam beberapa kasus, ada kesalahan dalam memahami BSE. Dalam banyak kasus, niat baik untuk menggunakan BSE memang tidak ada.

Sebagai ilustrasi, kakak saya merupakan seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA N, dan dia adalah satu-satunya guru di sekolah itu yang mengajar dengan menggunakan BSE. Dia juga membuat beberapa salinan buku itu (dengan dana sekolah) untuk perpustakaan. Bukannya didukung, dia malah dimarahi oleh Kepala Sekolah, karena dianggap melanggar aturan. Setelah menunjukkan salinan peraturan menteri yang bukan hanya tidak melarang, tapi juga menganjurkan agar guru/sekolah memperbanyak BSE untuk keperluan siswa, Kepala Sekolah tidak lagi memarahinya. Tapi tetap saja, tidak ada guru lain yang mengikuti langkahnya menggunakan BSE..

Kalau begini terus, maka kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta dan menyediakannya secara gratis melalui BSE hasilnya tidak akan optimal..

Quo vadis BSE? Atau perlu kebijakan yang mewajibkan guru/sekolah untuk menggunakan BSE?

Baca selengkapnya di :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/16/salah-kaprah-tentang-buku-sekolah-elektronik-431312.html

38
Kabar Gembira! Kini Buku Sekolah Elektronik Hadir di Gadget Android Anda



Di tengah semakin mahalnya harga buku cetak untuk sekolah, sebenarnya ada satu kebijakan pemerintah, dalam hal ini Kemdikbud yang patut dipuji, yaitu peluncuran program Buku Sekolah Elektronik (BSE). Kemdikbud membeli hak cipta buku-buku sekolah di berbagai jenjang pendidikan (SD, SLTP, SLTA dan SMK), kemudian buku tersebut diunggah ke website BSE, sehingga bisa diunduh dan diperbanyak oleh siapa saja secara gratis. Materi BSE ini diperkenankan untuk dicetak dan diperjual-belikan, dengan ketentuan harganya tidak melebihi harga eceran tertinggi (HET). Saya pernah melihat BSE di sebuah toko buku, harganya berkisar antara 10 ribu hingga 15 ribu rupiah. Sangat murah, jika dibandingkan dengan buku sekolah yang diterbitkan oleh penerbit terkenal, yang harganya mencapai 50 ribu atau bahkan lebih. Tentu saja  ini sangat membantu bagi para murid sekolah, terutama dari kalangan yang kurang mampu. Saya sendiri sudah memiliki ratusan judul file BSE, yang saya dapatkan secara gratis ketika membeli majalah PC Media. File-file BSE tersebut meliputi buku-buku untuk SD, SMP, SMA dan SMK.

Sebenarnya cukup mudah untuk mengunduh BSE ini dari website yang disediakan oleh Kemdikbud. Hanya memang kita cukup direpotkan dengan keharusan untuk login, yang tentunya harus mendaftar terlebih dahulu. Pada proses pendaftaran ini, kita diharuskan mengisi form, yang mengharuskan kita mengisi nama, email, username dan password. Masalah utamanya, jika selanjutnya kita jarang mengakses website tersebut, tak jarang kita lupa dengan username atau password kita. Masalah lain, adalah kendala tersedianya komputer atau laptop dan akses internet.

Namun kini, semua hal tersebut tidak lagi menjadi masalah. Akses internet semakin mudah dan murah. Perangkat atau gadget untuk mengakses internet juga semakin terjangkau. Tidak harus menggunakan komputer atau laptop. Kini akses internet menggunakan ponsel (smartphone) atau komputer tablet sudah bukan barang mewah lagi. Harga smartphone dan komputer tablet sudah semakin murah dan terjangkau. Dan kita perlu berterima kasih kepada OS Android. Berkat android, kini ponsel tidak sekedar untuk telepon dan sms. Dengan android, kita dapat melakukan banyak hal yang bermanfaat dengan gadget yang kita punya.

Dan kabar yang menggembirakan, kini kita dapat mengakses dan mengunduh BSE melalui sebuah aplikasi android. Setelah BSE diunduh, kita dapat membacanya layaknya membaca buku, dan membolak-balik halaman dengan usapan tangan kita. Setidaknya kini sudah ada dua aplikasi tersebut. Yang pertama adalah Buku Sekolah Elektronik, dan yang kedua adalah Buku BSE.

aplikasi Buku BSE dipublish oleh Mahoni.com. Aplikasi ini memiliki kelebihan pada proses download buku (ebook) yang lebih mudah, dan adanya fasilitas search untuk mencari daftar buku yang sudah diunduh. Aplikasi ini masih baru, yaitu baru dirilis pada tanggal 13 Oktober 2013. Selain Buku BSE, Mahoni.com telah mempublish beberapa aplikasi lain, yang dapat dilihat di sini.

Saya sudah mengunduh kedua aplikasi tersebut di perangkat tablet saya. Keduanya sangat bagus dan bermanfaat. Yang pertama terpikir ketika melihat aplikasi ini adalah anak saya. Daripada sibuk main game dengan perangkat tabletnya, lebih baik baca buku di tabletnya. Dan memang, ketika saya memberikan perangkat tablet untuk anak, saya langsung menginstalnya dengan beberapa aplikasi yang bernilai informasi dan pendidikan. Dan hadirnya aplikasi BSE ini merupakan kabar gembira bagi saya sebagai seorang ayah, yang akan segera saya persembahkan untuk anak saya.

Bagaimana dengan anda?

Baca selengkapnya di :
http://teknologi.kompasiana.com/gadget/2013/10/20/kabar-gembira-kini-buku-sekolah-elektronik-hadir-di-gadget-android-anda--603282.html

39
Pengalaman Bpk Abdul Hamid Memanfaatkan Aplikasi 'Buku BSE' untuk Mengajari Anaknya Memanfaatkan Buku Sekolah Elektronik di Ipad di Luar Negeri.



Saya kebetulan membawa anak saya ke Jepun untuk sekolah. Anak yang besar duduk di kelas 2 SD disini (di Indonesia kelas 3 SD). Nah, karena di sini hanya akan sekitar tiga tahun (amiiiin), maka dia punya dua beban mata pelajaran sekolah: pelajaran sesuai kurikulum Jepun dan pelajaran dengan kurikulum Indonesia.

Mau tidak mau hal ini mesti dijalani, walaupun berupaya tidak membuatnya stress. Hmm ini dilakukan agar nanti ketika kembali ke tanah air dia tidak mengalami tekanan terlalu berat. Setidaknya keep in touch dengan materi SD di Indonesia. Apalagi materi pelajaran SD di Indonesia memang lebih sulit daripada materi di Jepun.

Ketika berangkat tahun lalu, Ayu (alias Ayal alias Aya Chan alias Ayaru) membawa serta buku-buku pelajaran yang diberikan sekolahnya, SDIT Insan mandiri. Nah persoalannya di Indonesia baru ganti tahun ajaran, artinya butuh buku-buku pelajaran yang baru.

Disinilah teknologi bermanfaat. Secara tidak sengaja aku menemukan aplikasi Buku Sekolah Elektronik di sebuah laman yang bisa didowload gratis ke IPAD,Phone atau Ipod Touch. Langsung ke TKP ya di sini.

Nah setelah diinstall di Ipad, tampilannya akan seperti toko buku online seperti wayangforce atau majalah. Namun jangan khawatir, kita bisa download buku-buku pelajaran dengan gratis. Apalagi untuk satu mata pelajaran setiap jenjang ada beberapa versi pengarang dan penerbit berbeda, jadi kita bisa memilih yang paling sesuai dengan kebutuhan dan keinginan kita.

Info lengkap silahkan baca di :
http://abdul-hamid.com/2013/08/26/buku-sekolah-elektronik-di-ipad/

40
Ada Miliaran Dana Pengadaan Buku di Daerah



TEMPO.CO, Jakarta - Pengadaan buku pelajaran pendamping/pengayaan dan muatan lokal di daerah-daerah memang jadi lahan empuk untuk bisnis penerbitan. Peraturan memperbolehkan buku-buku kategori itu dijual langsung kepada sekolah sehingga tak perlu seleksi Badan Standardisasi Nasional Pendidikan. Rata-rata pemenang tender pengadaan buku pelajaran di daerah adalah perusahaan-perusahaan dari Jakarta.

Gurihnya bisnis ini tampak dari miliaran rupiah anggaran pemerintah daerah yang dialokasikan untuk pengadaan buku sekolah. Kepala Dinas Pendidikan Nasional Sumatera Selatan, Widodo, memastikan ada dana miliaran rupiah untuk buku sekolah di daerahnya.

"Pemda mengalokasikan dana hingga Rp 5 miliar setiap tahunnya untuk penggandaan dan cetak ulang buku pelajaran yang telah direkomendasikan oleh Kementerian," kata Widodo kepada Tempo.

Sementara di Sulawesi Tengah, nilainya juga mencapai miliaran rupiah. ?Saya belum tahu persis berapa banyak jumlah bukunya. Tetapi nilai anggaran yang dikucurkan untuk itu senilai kurang-lebih Rp 2 miliar,? kata Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Poso, Sulawesi Tengah, Wangintowe.

Di Magelang, Jawa Tengah, anggaran dari DAK untuk buku SD sebesar Rp 5,5 miliar dan untuk buku SMP sebesar Rp 4,8 miliar. Pengadaan buku SD sendiri terdiri dari buku pengayaan 870 judul, buku referensi 20 judul, serta buku panduan pendidikan sebanyak 50 judul. Sedangkan untuk pengadaan SMP terdiri dari buku pengayaan sebanyak 840 judul, buku referensi 80 judul, serta buku panduan pendidikan 50 judul.

Di Papua juga serupa. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Provinsi Papua, Elias Wonda, mengaku tidak tahu jumlah anggaran untuk pengadaan buku. Tapi yang jelas dananya besar. "Saya tidak hafal persis jumlahnya, itu ditangani bidang-bidang di dinas. Tapi pasti miliaran rupiah," katanya.

Legitnya bisnis pengadaan buku sekolah inilah yang mengundang para petualang yang hanya ingin mencari duit dalam waktu singkat mencoba mengadu untung dengan berkedok menjadi penulis atau penerbit buku.

http://www.tempo.co/read/news/2013/07/30/079500977/Ada-Miliaran-Dana-Pengadaan-Buku-di-Daerah

41
Thailand Beli 900.000 Tablet Android untuk Dukung Pendidikan



Pemerintah Thailand dikabarkan telah membuat keputusan besar dengan membeli setidaknya 900.000 unit tablet dari China. Setiap tablet itu nantinya akan dipakai untuk anak di sekolah dasar Thailand.

Sebuah kesepakatan tentang pembelian tablet itu telah ditandatangani oleh pemerintah Thailand dan China, seperti yang disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Teknologi Thailand, Anudith Nakornthap, ?Kami tengah bernegosiasi tentang harga dan cara pembayaran dengan China.?

Sang menteri juga berharap keputusan tentang pembayaran bisa diselesaikan pada akhir Februari ini. Pembayaran itu didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan kedua pihak. Itu tak lepas dari posisi China sebagai produsen besar sehingga bisa memberikan tablet dengan harga miring.



Pemerintah Thailand telah menyetujui pemberian dana US$63,3 juta untuk pembayaran 560.000 tablet. Dana itu telah diberikan pada Departemen Pendidikan tapi pembelian tetap ada di tangan Departemen Komunikasi dan Teknologi. Semua tablet itu dikatakan berasal dari tiga produsen ternama China; Huawei, ZTE dan Lenovo.

Spesifikasi tablet yang diminta pemerintah Thailand adalah display 7 inci, prosesor dual-core 1GHz, 512 MB RAM, 16 GB of storage memory, wireless LAN support of 802.11b/g/n, battery life 6 jam dan harus mendapat sertifikasi standar keamanan dari Federal Communications Commission. OS yang dipakai Android 3.2 Honeycomb.

Bagaimana dengan departemen Komunikasi dan Informasi Indonesia? Akankah mendatangkan ratusan ribu tablet murah dari China untuk mendukung pendidikan dalam negeri?

http://android.gopego.com/2012/02/thailand-beli-900.000-tablet-android-untuk-dukung-pendidikan

42
Di AS, Buku Pelajaran Kini Mulai Digantikan Tablet



INILAH.COM, Washington - Banyak sekolah di Amerika Serikat, mulai dari tingkat taman kanak-kanak (TK) hingga SMA, mengganti buku pelajaran dengan PC tablet.

Selamat tinggal tas sekolah yang berat, karena buku-buku pelajaran kini telah bertransformasi menjadi tablet. Inilah yang kini terjadi di AS.

Dilaporkan VOA, para penerbit memperbarui buku-buku pelajaran hampir secara langsung dengan peristiwa atau riset terkini. Semakin banyak sekolah di AS menggunakan tablet sebagai cara mempertahankan ketertarikan siswa, menghadiahi prestasi mereka dan dalam beberapa kasus, menurunkan biaya per murid.

?Kami harus menggunakan teknologi untuk memberdayakan guru dan memperbaiki cara murid belajar,? ujar Joel Klein, mantan kepala sekolah di New York yang kini memimpin program tablet pendidikan yang dilakukan perusahaan media News Corp.

?Teknologi pendidikan akan mengubah wajah pendidikan dengan membantu guru mengelola kelas dan menjadikan instruksi lebih personal,? imbuhnya.

News Corp memperkenalkan tablet Amplify, Rabu (6/3) di konferensi South by Southwest di Austin, Texas. Dengan harga US$299 atau sekitar Rp 2,9 juta, tablet berukuran 10 inci itu bekerja dengan sistem internet nirkabel (WiFi) di sekolah dan memiliki perangkat lunak supaya guru dapat mengawasi aktivitas masing-masing siswa, membuat survei dan menyediakan tes anonim untuk menguji pemahaman murid.

Namun, untuk memberi perangkat ini untuk setiap siswa bukan persoalan mudah. Beberapa waktu lalu, sekitar 2.000 sekolah sudah bermitra dengan Google menggunakan Chromebooks, dengan harga mulai US$199 atau sekitar Rp1,8 juta. Dan hasilnya kini 20 juta siswa dan guru di AS sudah menggunakannya.

Studi dari Pew Research Center mengenai Internet dan kehidupan di AS menemukan bahwa lebih dari 40% siswa atau guru menggunakan semacam tablet di kelas dalam proyek penulisan nasional mereka. Jumlah tersebut diperkirakan akan meningkat. [mor]

http://teknologi.inilah.com/read/detail/1965873/di-as-buku-pelajaran-kini-mulai-digantikan-tablet#.UtPSdmSSxbc

43
Buku Digital Bikin Tas Anak SMA AS Ringan




NEW YORK - Tas para murid SMA Stepinac di New York, Amerika Serikat (AS) jauh lebih ringan tahun ini. Betapa tidak, mereka enggak harus membawa buku teks yang super berat; cukup laptop atau tablet.

Yup, buku pelajaran, mulai dari biologi hingga ke kalkulus sekarang telah diubah menjadi buku digital. Enggak heran, isi tas pelajar Stepinac ini hanyalah iPad, bekal makan siang dan jaket.

Tetapi, tidak semua buku berbentuk digital. Buku-buku tentang agama masih berupa buku teks konvensional. Sementara mata pelajaran lainnya menggunakan buku digital yang disimpan pada jaringan internet sekolah.

Sistem buku digital ini menurunkan tagihan buku dari USD600 atau setara dengan Rp7,3 juta menjadi hanya USD150 (Rp1,8 juta). Tetapi, penurunan biaya ini bukan alasan utama semua murid dari sekolah Katolik Roma ini semua beralih ke buku digital.

"Kami bertransformasi ke digital untuk pembelajaran yang lebih baik. Selain itu, konten online jauh lebih kaya, misalnya untuk penugasan, laboratorium virtual dan blogging," ujar Wakil Kepala Sekolah Stepinac Frank Portanova seperti disitat dari laman Huffington Post, Kamis (26/12/2013).

Ambil contoh buku online untuk pelajaran sejarah. Tidak hanya teks, buku tersebut juga memuat video terkait materi bahasan pelajaran mulai dari Woodrow Wilson hingga Malcolm X. Sementara buku-buku online ilmu pengetahuan menunjukkan proses ilmiah dalam gambar video.

Asyiknya lagi, semua buku digital ini bisa disimpan. Sehingga siswa dapat melihat kembali buku digital tersebut untuk meninjau konsep yang telah dipelajarinya. Siswa dapat menandai bagian yang penting tanpa merusak buku, atau memasukkan kata kunci untuk menemukan referensi.

Direktur Teknologi SMA Stepanic Patricia Murphy mengatakan, buku teks digital telah diperbarui tiga kali semester ini. Selain itu, guru sejarah Joe Cupertino mengatakan, memiliki begitu banyak pengayaan dalam teks digital berarti pekerjaan mereka lebih produktif dan membebaskan guru untuk berbuat lebih banyak diskusi dan analisa yang lebih baik di kelas.    (rfa)

http://pemilu.okezone.com/read/2013/12/25/560/917400/buku-digital-bikin-tas-anak-sma-as-ringan

44
Remaja Sekarang Lebih Senang Belajar Lewat Tablet



Merdeka.com - Perkembangan teknologi membuat manusia harus menyesuaikan pola hidupnya. Dalam hal belajar misalnya, remaja sekarang rupanya lebih memilih tablet ketimbang buku.

Seperti yang dilansir oleh Mashable (29/8), fakta ini didapatkan dari sebuah laporan yang dilansir oleh Nielsen. Disebutkan, 71 persen pelajar yang memiliki tablet mengaku lebih senang belajar dengan gadget tersebut.

Bahkan, mereka pun berandai-andai agar buku pelajaran mampu dibaca langsung lewat tablet. Hal ini dinilai sangat memudahkan mereka untuk menyewa atau membeli buku digital langsung dari Google Play.

Selain itu, fungsi tablet sendiri di kalangan pelajar dinilai penting dalam hal membantu mereka dalam belajar. Sekitar 51 persen dari pelajar berusia 13 tahun yang memiliki perangkat ini misalnya, mengaku menggunakan tablet untuk mengakses internet.

Sementara, seperti yang ditunjukkan oleh gambar di atas, 46 persen sisanya menggunakan perangkat ini untuk email. 42 persen untuk membaca buku, 40 persen untuk mencatat, dan 30 persen untuk mengerjakan PR.

Hal ini pun bisa menjadi pertimbangan bagi orang tua. Ternyata, tablet memiliki peran sangat penting bagi pelajar di masa kini.

[nvl]

http://www.merdeka.com/teknologi/remaja-sekarang-lebih-senang-belajar-lewat-tablet.html

45
Buku BSE (Buku Sekolah Elektronik) / Darurat Pendidikan Nasional
« on: January 13, 2014, 06:43:38 PM »
Darurat Pendidikan Nasional

Oleh : Amril Aman



Pada tahun 1900, saat produksi secara massal di pabrik dimulai, setiap barang pada tahap akhir produksi akan diperiksa untuk menentukan produk itu cacat atau tidak. Itulah awal proses sistematis terkait dengan pengendalian mutu.

Lebih dari 100 tahun kemudian, teknik pengendalian mutu telah amat berkembang. Paradigma lama yang menekankan pengecekan setiap produk di akhir proses produksi telah lama ditinggalkan. Ironisnya, paradigma ini masih diterapkan dalam pengendalian mutu pendidikan kita.

Dalam minggu-minggu ini, jutaan anak didik kita akan dicek melalui ujian nasional (UN). Dari hasil UN ini akan ditentukan, seorang siswa merupakan produk cacat (tidak lulus) atau sebaliknya. Metodologi kuno yang telah lama ditinggalkan ini, di samping tak mangkus dan tak sangkil, juga tak manusiawi.

Kendati banyak pandangan yang menolak pelaksanaan UN, bahkan Mahkamah Agung dalam putusannya untuk perkara Nomor 2596 K/Pdt/2008 telah melarang pemerintah menyelenggarakan UN, pemerintah sampai saat ini tetap melaksanakannya. Pemerintah telah bekerja keras mencari justifikasi paradigma yang telah usang ini. Salah satu justifikasi yang digunakan pemerintah adalah UN membuat siswa stres dan, hal ini, pada gilirannya akan membuat siswa giat belajar.

Dalam kasus ini, sekali lagi pemerintah masih menganut pola pikir kuno sebab untuk membuat siswa giat belajar seyogianya dengan menciptakan pembelajaran yang menarik dan berbagai fasilitas dan teknologi yang tersedia saat ini, serta memandang dan memberlakukan siswa sebagai manusia dengan kekhasannya masing-masing.

Karena kinerja suatu lembaga pendidikan diukur dari keberhasilan siswanya pada UN, proses pendidikan telah dominan diwarnai untuk mencapai ukuran keberhasilan yang digunakan UN. UN merupakan ujian yang dilaksanakan dengan format pilihan berganda. Format semacam itu sama sekali tak mampu mengukur kemampuan dan potensi akademis yang dimiliki siswa secara holistis. UN hanya mampu mengukur kemampuan berpikir sederhana dan kemampuan mengingat. Akibatnya, proses pendidikan diarahkan untuk membuat siswa mampu berpikir sederhana serta mampu mengingat berbagai katalog fakta.

Elemen kompetensi terabaikan

Berbagai elemen kompetensi dan sikap amat penting seperti kemampuan bernalar dan berpikir kompleks, rasa ingin tahu, sikap kritis, sikap kreatif, kejujuran, sikap adil, dan kemampuan komunikasi terabaikan dalam proses pembelajaran. Secara gamblang Iwan Pranoto, Guru Besar Matematika ITB, mengatakan bahwa UN perusak budaya bernalar paling efektif (Kompas, 21/2). Dengan situasi semacam ini, kita mendidik anak-anak kita menjadi generasi yang mampu melaksanakan pekerjaan rutin, lemah nalar, minim kreativitas, dan kurang komunikatif. Hal ini akan membawa konsekuensi sangat serius menghadapi tantangan masa depan yang kian berat.

Bayangkan bagaimana Indonesia pada tahun 2045 saat negara kita seratus tahun. Generasi yang lahir tahun ini saat itu akan ada pada usia 30-an tahun. Pada saat itu populasi Indonesia diperkirakan melebihi 290 juta, sekitar 50 juta lebih banyak daripada populasi sekarang. Sumber energi minyak telah lama habis, diperkirakan cadangan minyak cukup untuk 11 tahun lagi. Karena itu, sumber energi telah beralih ke sumber energi lain, seperti gas, batubara, panas bumi, dan energi terbarukan lain.

Tanpa kebijakan drastis, lahan pertanian tidak akan cukup memenuhi kebutuhan pangan kita. Ketergantungan kepada impor akan makin tinggi. Tantangan generasi masa depan akan jauh lebih berat daripada yang kita hadapi saat ini. Apakah kompetensi yang diberikan sistem pendidikan saat ini mampu menghadapi tantangan yang makin berat ini?

Di samping perubahan alami di atas, kita ada di tengah revolusi informasi. Revolusi ini dimotori oleh perkembangan teknologi komputer, telekomunikasi bergerak, serta sistem posisi global. Revolusi ini mengubah cara kita berinteraksi yang telah menghilangkan dimensi ruang. Teknologi ini memungkinkan penyebaran informasi secara langsung menjangkau banyak orang. Kita ada pada era Facebook, Twitter, Wikipedia, Google, e-library, Skype, dan sebagainya.

Kolaborasi dalam pengembangan ilmu dan diseminasi informasi berjalan dengan sangat mudah. Smartphone dan tablet telah menjadi jendela bagi kita berinteraksi dengan masyarakat dunia dan memperoleh informasi dari sumber mana pun. Kemampuan mengingat (menghafal) berbagai katalog fakta, yang saat ini merupakan komponen utama sistem pendidikan kita, tak relevan lagi. Revolusi ini akan membawa perubahan terhadap substansi dan metodologi pembelajaran.

Dalam waktu tak terlalu lama, buku teks akan digantikan oleh tablet. Tablet akan dapat menyediakan informasi yang jauh lebih kaya daripada buku teks. Berbeda dengan buku teks yang hanya menyampaikan informasi statis menggunakan kalimat dan gambar, tablet memperkayanya dengan audio, video, animasi, dan sebagainya.

Untuk mempelajari tata surya, misalnya, saat ini siswa harus baca buku dan mungkin melihat gambarnya. Dengan tablet, siswa dapat melihat animasi pergerakan semua planet dalam sistem tata surya dan dapat melihat posisi tiap planet pada waktu tertentu. Ini akan jadi media pembelajaran amat efektif di masa depan.

Amat intensif

Saat ini pengembangan media pembelajaran dengan menggunakan teknologi ini amat intensif. Suatu organisasi nirlaba di Amerika Serikat menyediakan flexbook yang gratis, fleksibel, dan bisa disesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Pada saat jadi gubernur California, Arnold Schwarzenegger mengumumkan akan mengganti buku sains dan matematika dengan media pembelajaran flexbook. Korea Selatan telah mendeklarasikan akan mengganti semua buku dengan teks digital pada 2013.

Tidak dapat disangkal bahwa diperlukan kurikulum baru dalam sistem pendidikan kita. Kurikulum itu haruslah mampu mempersiapkan siswa menghadapi tantangan masa depan yang makin berat. Begitu pula, kurikulum itu harus mampu beradaptasi dengan memanfaatkan teknologi yang tersedia yang membuat proses pembelajaran lebih efektif. Perancangan kurikulum baru seyogianya didahului oleh suatu kajian akademis yang komprehensif tentang kelemahan kurikulum saat ini, situasi yang ada saat ini, serta berbagai skenario perkembangan yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan pemahaman inilah dapat dirancang kompetensi untuk setiap jenjang pendidikan. Tanpa melakukan hal ini, mustahil dihasilkan kurikulum yang mampu menyiapkan generasi masa depan menghadapi tantangan yang makin berat.

Kurikulum 2013 sepertinya jauh dari harapan di atas. Hal ini agaknya karena tidak dilakukannya kajian akademis yang komprehensif dalam pengembangan kurikulum ini. Pengembangan kurikulum bersifat reaktif dan landasan pemikiran yang dangkal. Misalnya argumen penggabungan pelajaran IPA dan Bahasa Indonesia di kelas I sampai dengan IV SD. Pada dokumen Uji Publik Kurikulum 2013 disebutkan alasannya karena ada beberapa istilah di IPA yang memiliki arti yang berbeda dengan istilah-istilah umum pada Bahasa Indonesia, misal gaya, usaha, dan daya.

Amatlah naif jika penggabungan atau pemisahan pelajaran didasarkan hanya karena masalah terminologi. Pelajaran IPA di tingkat SD akan dapat dirancang dengan menghindari penggunaan terminologi formal keilmuan. Pada saat negara lain mengembangkan pelajaran sains menjadi sains dan teknologi, kita malah mereduksi pelajaran itu. Kualitas Kurikulum 2013, serta rencana implementasinya yang amat tergesa-gesa tanpa persiapan matang mulai tahun ini, merupakan ancaman amat serius yang akan memperburuk kualitas pendidikan kita.

Situasi pendidikan semacam ini amat membahayakan masa depan generasi mendatang. Tanpa kualitas pendidikan yang baik, generasi masa depan tidak akan mampu bersaing pada era globalisasi. Globalisasi membuka peluang bagi setiap anak bangsa berkompetisi tak hanya di tataran domestik, tetapi juga internasional. Globalisasi akan bermanfaat hanya jika kita mampu bersaing dengan bangsa lain. Ketakmampuan bersaing akan membuat bangsa kita kalah bersaing, baik di luar maupun di negara sendiri.

Kalau itu yang terjadi, jika saat ini sebagian bangsa kita menjadi pekerja kelas bawah di negara orang sebagai TKI, bisa-bisa nanti banyak di antara bangsa kita jadi pekerja kelas bawah di negeri sendiri, melayani dan mengabdi kepada tuan-tuan bangsa lain. Untuk mencegah hal ini, perlu perubahan radikal dalam sistem pendidikan kita. Perubahan itu harus diawali dengan penghapusan UN serta perancangan ulang kurikulum baru yang didasari atas kajian komprehensif dengan memperhatikan perkembangan teknologi. Perubahan itu hanya mungkin kalau kita menyadari saat ini kita tengah menghadapi darurat pendidikan nasional.

Amril Aman Kepala Bagian Riset Operasi Departemen Matematika IPB dan Anggota Dewan Riset Daerah Provinsi DKI Jakarta.Tulisan ini pendapat pribadi


http://nasional.kompas.com/read/2013/04/19/03044644/about.html

Pages: 1 2 [3] 4