Author Topic: Salah Kaprah tentang Buku Sekolah Elektronik  (Read 6744 times)

Offlinesatyana

Jr. Member

Salah Kaprah tentang Buku Sekolah Elektronik
| February 09, 2014, 09:21:08 AM
Salah Kaprah tentang Buku Sekolah Elektronik



 Buku Sekolah Elektronik (BSE) merupakan salah satu terobosan kebijakan pemerintah yang patut dipuji. Idenya sederhana saja. Pemerintah (Kemdiknas) membeli hak cipta buku-buku sekolah di berbagai jenjang pendidikan (SD, SLTP, SLTA, termasuk SMK), kemudian buku tersebut diunggah ke website yang sengaja dibuat (http://bse.kemdiknas.go.id) sehingga bisa diunduh dan diperbanyak oleh siapa saja secara gratis. Kalau sudah diunduh dan dicetak, mau dijual ke orang lain juga boleh, asal tidak melampaui harga maksimalnya. Harapannya adalah anak-anak Indonesia tidak lagi menghadapi masalah dalam membeli buku. Hingga saat ini sudah lebih dari 900 judul buku yang tersedia di situs BSE.

Sayangnya, hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penggunaan BSE ternyata masih sangat terbatas. Sebenarnya tidak terlalu mengejutkan, karena memang tidak ada kewajiban untuk memakainya, yang ada hanya anjuran. Sekolah/guru lah yang pada akhirnya menentukan buku yang dipakai di sekolah, bukan siswa atau orang tuanya. Jadi, meskipun sudah ada himbauan agar sekolah memakai BSE, tapi kalau guru/sekolah memutuskan untuk memakai buku lain (yang tidak ada dalam BSE), maka siswa/orang tua tidak akan bisa berbuat apa-apa kecuali membelinya. Dalam kasus seperti itu, yang tidak punya uang akan terpaksa belajar tanpa memakai buku.

Meskipun jelas-jelas memberatkan orang tua, dan membiarkan BSE mubazir, langkah itu banyak diambil oleh para guru/sekolah, terutama karena iming-iming diskon yang diberikan oleh penerbit. Alasan ?resmi? yang disampaikan oleh guru/sekolah tentu saja bukan itu, tapi saya pribadi tidak percaya. Saya juga tidak percaya, kalau guru/sekolah bilang ?tidak pernah menjual buku? atau mendapatkan keuntungan dari pengadaan buku pelajaran, karena ?resmi?-nya memang bukan sekolah yang menjual, tapi koperasi sekolah. Tidak perlu menjadi jenius untuk tahu kaitan antara koperasi sekolah dengan para guru dan pengelola sekolah.

Selain persoalan minimnya ?niat baik? dari pihak guru/sekolah, rendahnya penggunaan BSE juga dipicu oleh kesalahan pemahaman tentang cara mengakses dan menggunakan BSE. Hingga saat ini ternyata masih cukup banyak yang mengira BSE hanya bisa diakses dan dibaca dengan menggunakan komputer (baik secara online maupun offline). Akibatnya, banyak sekolah/guru yang tidak memakai BSE dengan alasan tidak tersedia komputer atau jaringan internet untuk membacanya. Padahal pengertian ?buku elektronik? dalam hal ini adalah buku yang disediakan secara elektronik, bukan buku yang harus dibaca secara elektronik.

Seperti yang disebut di awal, BSE memang tersedia secara elektronik, tetapi dapat diunduh, dicetak dan diperbanyak oleh siapa saja. Jadi untuk satu sekolah, misalnya, tidak perlu semua orang mengunduh. Kalau sarana komputer/internet terbatas, cukup satu orang (guru) saja yang mengunduh, kemudian mencetak dan memperbanyak untuk keperluan siswa. Idealnya, pencetakan dan perbanyakan buku itu bisa dibiayai dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Kalau pun tidak, siswa yang berminat dan tidak mau mengunduh sendiri bisa diminta membeli di Koperasi Sekolah dengan harga sangat murah (untuk ongkos fotokopi dan penjilidan, tidak sampai Rp 15 ribu per buku).

Jadi kalau guru/sekolah memang punya niat baik, hal itu sangat mudah dilakukan. Kalau tidak punya komputer atau sambungan internet, mereka bisa datang ke warnet untuk mengunduh dan kalau perlu mencetaknya sekalian.

Tapi justru itulah persoalannya.. Dalam beberapa kasus, ada kesalahan dalam memahami BSE. Dalam banyak kasus, niat baik untuk menggunakan BSE memang tidak ada.

Sebagai ilustrasi, kakak saya merupakan seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMA N, dan dia adalah satu-satunya guru di sekolah itu yang mengajar dengan menggunakan BSE. Dia juga membuat beberapa salinan buku itu (dengan dana sekolah) untuk perpustakaan. Bukannya didukung, dia malah dimarahi oleh Kepala Sekolah, karena dianggap melanggar aturan. Setelah menunjukkan salinan peraturan menteri yang bukan hanya tidak melarang, tapi juga menganjurkan agar guru/sekolah memperbanyak BSE untuk keperluan siswa, Kepala Sekolah tidak lagi memarahinya. Tapi tetap saja, tidak ada guru lain yang mengikuti langkahnya menggunakan BSE..

Kalau begini terus, maka kebijakan pemerintah untuk membeli hak cipta dan menyediakannya secara gratis melalui BSE hasilnya tidak akan optimal..

Quo vadis BSE? Atau perlu kebijakan yang mewajibkan guru/sekolah untuk menggunakan BSE?

Baca selengkapnya di :
http://edukasi.kompasiana.com/2012/01/16/salah-kaprah-tentang-buku-sekolah-elektronik-431312.html
« Last Edit: February 09, 2014, 09:27:36 AM by satyana »