Author Topic: Bisnis Buku Ketika Mafia Masuk ke Dunia Pendidikan  (Read 8674 times)

Offlinesatyana

Jr. Member

Bisnis Buku Ketika Mafia Masuk ke Dunia Pendidikan
| February 11, 2014, 02:41:01 PM
Bisnis Buku Ketika Mafia Masuk ke Dunia Pendidikan



Buku adalah gudang ilmu. Namun, bagi penerbit dan jaringan mafia buku, buku juga termasuk lahan uang. Bisnis buku pelajaran yang memberikan keuntungan menggiurkan telah membuat penerbit berebut untuk mendapatkan proyek buku dari pemerintah daerah. Kalau proyek pencetakan buku dari pemerintah tidak berhasil didapatkan masih ada celah besar yang menjadi sumber pundi uang: menjual buku langsung ke sekolah!
 
Untuk menjual buku langsung ke sekolah tentu bukan hal mudah. Perlu ada pendekatan perlahan-lahan kepada para kepala sekolah. Bagian promosi dan pemasaran sebuah penerbit tidak boleh pelit. Tujuan akhir penerbit mendekati kepala sekolah tentu bukan untuk memberikan hadiah cuma-cuma, tetapi untuk jualan. Ya, jualan buku langsung ke sekolah lebih menguntungkan karena lebih pasti terjual. Itu karena para siswa mau tidak mau harus membeli buku sesuai ketetapan sekolah.
 
Kalau sekolah menetapkan buku Bahasa Indonesia untuk kelas 6 tahun ajaran 2011 harus memakai buku terbitan Penerbit Airlangga, misalnya, maka para siswa tidak bisa menolak. Mereka harus membeli buku terbitan Airlangga agar pelajaran di sekolahnya tidak ketinggalan.
 
Jualan buku langsung ke sekolah inilah yang sering disebut sebagai ?mafia buku?. Meskipun disebut ?mafia?, pelakunya tidak seseram pemeran mafia ala film Hollywood. Anggota mafia itu bisa jadi adalah orang yang dekat dengan kita. Bahkan, aktivis Komite Anti Korupsi (KoAK) Lampung memiliki beberapa kawan baik yang akhirnya terjun menjadi mafia buku yang jaringannya menguasai Sumatera bagian selatan. Salah satu pentolan mafia buku itu juga menawari aktivis KoAK Lampung untuk bisnis buku dengannya.
 
?Janganlah bicara buku pelajaran yang agak mahal. Dari bisnis Lembaran Kerja Siswa (LKS) saja kita sudah untung besar. Modal cetaknya per mata pelajaran hanya Rp 5 ribu. Dijual Rp 6 ribu ke sekolah kita sudah untung. Kalau guru menjual Rp 7 ribu/LKS atau Rp 10 ribu/LKS berarti keuntungan dia sebesar seribu rupiah hingga Rp4 ribu/buku,? ujar mafia buku itu, sebut saja Rodi,  sambil tertawa lepas.
 
Menurut Rodi, kepala sekolah memegang peranan penting dalam bisnis buku di sekolah. ?Kalau tanpa izin kepala sekolah, mana mungkin kami bisa langsung jualan ke sekolah. Kami diberi ruang gratis di halaman sekolah.Ya tentu saja, sesudahnya kami tetap memberikan fee,? ujarnya.
 
Karena jualan buku di sekolah tergolong mudah itulah Rodi mengaku tidak khawatir dengan adanya program Buku Sekolah Elektronik (BSE). ?Banyak kepala sekolah dan guru masih gagap teknologi. Mereka lebih mudah dirayu memakai buku kami ketimbang repot-repot mengunduh buku dari internet. Lagi pula, kami juga memberikan pembagian keuntungan kepada mereka,? kata Rodi.
 
Berapa fee yang dibagikan penerbit? ?Besarnya 40 sampai  60 persen. Tapi itu dibagi kepada beberapa pihak,? kata Rodi.
skandal-dana-bos

?Karena tertarik dengan fee, maka pihak sekolah sering memaksa siswa membeli buku pelajaran yang diterbitkan penerbit tertentu. Padahal, pemerintah sudah menyiapkan buku sekolah elektronik yang bisa didownload secara gratis,? kata koordinator KoAK Lampung Ahmad Yulden Erwin.
 
?Sebab itu kami mendesak Menteri Pendidikan Nasional bersikap tegas. Untuk apa pemerintah membeli royalti buku sekelolah elektronik kalau buku elektronik tidak dipakai para siswa?? ujarnya.
 
Menurut Erwin, selain mengoptimalkan program buku sekolah elektronik (BSE), untuk mempersempit ruang gerak mafia buku yang memberatkan wali murid, sekolah harus memanfaatkan koperasi sekolah. Sekolah dapat melakukan inisiatif mencetak buku yang termasuk BSE. Dengan demikian, biayanya akan jauh lebih murah ketimbang membeli. Sedangkan guru sebagai anggota koperasi tetap mendapat keuntungan, dan wali murid dapat membeli buku dengan harga terjangkau.
 
?Jadi, sebenarnya sekolah juga masih bisa mendapatkan uang halal dari pencetakan buku yang kemudian dijual kepada para siswa. Harga cetak per buku  mata pelajaran bisa di bawah Rp 10 ribu, sementara dari penerbit rata-rata sudah di atas Rp 20 ribu/buku. Itulah yang memberatkan para orang tua siswa,? kata Erwin.
 
BSE merupakan buku teks mata pelajaran untuk siswa SD, SMP, dan SMA yang royaltinya sudah dibeli Kementerian Pendidikan Nasional dari beberapa penerbit. Dengan adanya BSE itu diharapkan semua sekolah di Indonesia bisa mendownload BSE dari website milik Kementerian Pendidikan Nasional (www.kemdiknas.go.id) secara gratis.
 
?Ironisnya, meskipun sudah diberi kemudahan tetapi sebagian besar kepala sekolah lebih memilih membeli buku teks dari penerbit. Bahkan, sebagian besar kepala sekolah di Lampung sudah menjadi bagian dari jaringan mafia buku. Inilah yang merugikan para orang tua karena mereka terpaksa harus membeli buku untuk anaknya hingga ratusan juta rupiah,? kata Erwin.
 
Mafia buku selama ini menjalankan aksinya dengan leluasa karena tidak ada sanksi yang tegas dari aparat hukum. Padahal, komplotan tersebut bisa dijerat dengan pasal berlapis dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
 
Seorang anggota mafia buku mengaku bisnis buku di sekolah sangat menguntungkan. ?Kuncinya, kalau kita sudah bisa mendapatkan izin dari Dinas Pendidikan, maka kita akan gampang masuk ke sekolah-sekolah. Menjual langsung ke sekolah akan lebih menguntungkan karena akan memutus mata rantai distribusi. Penerbit juga tidak akan terbebani biaya promosi,? kata dia.
 
Menurut dia, agar bisa menjual buku langsung ke sekolah dia rajin berbagi rezeki berupa fee. ?Ketimbang diberikan kepada toko buku, lebih baik fee itu diberikan kepada kepala sekolah dan guru.Sebab, jumlah penjualannya lebih jelas,? ujar anggota mafia yang juga menawari Sapu Lidi untuk berjualan buku ke sekolah.
 
?Wartawan akan mudah sekali menjual buku ke sekolah. Kepala sekolah mudah digertak,? ujarnya sambil tertawa lepas.
 
Prof. Dr.  Sutopo Ghani Nugroho, aktivis Kaukus Pendidikan Lampung yang juga ketua Dewan Pendidikan Provinsi Lampung, mengatakan untuk memutus mata rantai mafia buku pemerintah daerah dan DPRD bisa membuat peraturan daerah (perda) tentang buku.
 
?Peraturan daerah perlu dibuat dan diberlakukan karena pemerintah pusat melalui Kementerian Pendidikan Nasional tidak membuat peraturan pemerintah (PP) tentang buku elektronik. Akibatnya, banyak kepala sekolah dan guru justru terlibat dalam mafia buku. Jika mafia buku akan diberantas, setiap daerah di Indonesia harus punya perda tentang buku yang mengatur pengadaan buku sekolah. Kalau perlu ada anggaran khusus untuk buku sekolah,? kata Sutopo.

buku-pelajaran
Sutopo mengatakan jika pemerintah daerah memiliki cukup anggaran, biaya cetak BSE dapat dialokasikan dari APBD agar harga buku jauh lebih murah dibandingkan harga dari penerbit.
 
Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandarlampung, Sukarma Wijaya, mengatakan meskipun sekolah sudah menetapkan buku yang harus dimiliki para siswa, tetapi para guru dilarang memaksa para siswa membeli buku di sekolah.
 
?Kami akan akan memberikan sanksi jika ada guru yang mewajibkan pembelian buku. Ada yang salah dalam penyampaian guru di sekolah sehingga ditafsirkan membeli buku itu menjadi kewajiban. Yang penting adalah siswa tetap bisa mendapat bahan ajar saat pelajaran berlangsung. Siswa boleh memfotokopi atau meminjam materi pelajaran,? kata Sukarma Wijaya.
 
Sukarma Wijaya berjanji akan mencopot jabatan atau memutasikan kepala sekolah dan guru yang terlibat dalam jaringan mafia buku. ?Kalau ada, laporkan saja. Jika kepala sekolah terlibat itu  berarti sudah tidak mau lagi menjadi kepala sekolah di Bandar Lampung,? tegasnya.
 
Sukarma mengaku pernah ada laporan ada siswa yang takut masuk sekolah lantaran dipaksa guru membeli buku pelajaran tertentu. ?Jika benar-benar terbukti memaksa siswa membeli buku, guru yang bersangkutan yang akan saya keluarkan,? ujarnya.
 
Soal insentif atau fee yang diberikan penerbit kepada pejabat Dinas Pendidikan, guru, dan kepala sekolah, Sukarma membantahnya. Menurut dia adanya insentif dari penerbit harus dilihat kembali, apakah insentif itu berupa uang atau dalam bentuk lain, seperti beasiswa.
 
?Guru hanya mengantongi izin dari dinas untuk melanjutkan studi, tidak untuk pendanaan. Jika penerbit mau bekerja sama, ya tidak ada persoalan. Sementara soal setoran untuk kepala dinas dari penerbit, itu semua tidak ada,? kata dia..
 
Memasuki tahun ajaran baru, wali murid mengeluhkan mahalnya harga buku paket dari sekolah. Harga satu paket buku (terdiri atas beberapa buku mata pelajaran) bervariasi. Nilainya  antara Rp250 ribu hingga Rp1,2 juta per siswa.
 
Susanto, 43, orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya di SMP Negeri 1 Bandarlampung, mengaku harus menyediakan uang hingga Rp 750 ribu pada tahun ajaran bary untuk membeli buku.
 
?Setiap kenaikan kelas, anak saya harus membeli buku baru . Semua buku baru. Buku kakaknya tidak dipakai lagi,? ujarnya.
 
Beberapa kepala sekolah mengaku terpaksa mewajibkan para siswa membeli buku dari penerbit tertentu karena buku buku-buku yang dibeli dengan dana biaya operasional sekolah (BOS) sering bukan buku penunjang mata pelajaran utama.
 
Untuk siswa Sekolah Dasar, buku yang didanai BOS hanya buku pelajaran olahraga, sementara untuk siswa SMP hanya dua buku yaitu buku olahraga dan buku kesenian. (Oyos Saroso H.N./Mas Alina Arifin/Al Gaffary)

Baca selengkapnya di :
http://www.koaklampung.org/tentangkoak/profilkoak/selayangpandang/71-bisnis-buku-ketika-mafia-masuk-ke-dunia-pendidikan.html