Author Topic: Kurikulum Baru dan Mafia Buku  (Read 5248 times)

Offlinesatyana

Jr. Member

Kurikulum Baru dan Mafia Buku
| February 11, 2014, 02:48:31 PM
Kurikulum Baru dan Mafia Buku

Oleh: Dr H Usman Yatim MPd MSc



Para orangtua tentu menyambut gembira bilamana anak-anak mereka yang duduk di bangku sekolah SD, SMP atau SMA tidak lagi harus membeli buku-buku pelajaran. Hal itu karena pemerintah akan menyediakannya secara gratis. Selama ini biarpun disebut sekolah gratis ? walau nyatanya tetap ada pungutan ? setiap awal ajaran baru kewajiban membeli buku pelajaran sudah menjadi tradisi. Anak-anak wajib punya buku pelajaran yang baru, sedangkan buku bekas kakaknya, meski baru setahun, tidak dapat dipakai karena sudah berbeda.


Benarkah buku pelajaran sekolah digratiskan? Tampaknya, hal ini masih menjadi tanda tanya besar dan jangan-jangan ini masih sebatas wacana. Tahun lalu, Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud, Diah Harianti, pernah mengisyaratkan, untuk kurikulum baru yang diterapkan pada Juni 2013,  buku-buku pelajaran akan diberikan secara gratis pada guru dan siswa. ?Kami siapkan saja semuanya. Dicetak oleh negara atau swasta, kami masih belum tahu. Tapi untuk buku gratis memang ada rencana,? kata Diah kepada Kompas.com, 16 September 2012.

Kebijakan buku pelajaran gratis itu tentu saja membuat penerbit buku merasa khawatir karena selama ini memang banyak penerbit bergerak di bidang buku pelajaran. Diberitakan juga baru-baru ini, perubahan kurikulum membuat resah para penerbit buku pelajaran. Perubahan kurikulum yang disiapkan pemerintah disebut-sebut belum jelas, tetapi dipastikan siap dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013..

?Penerbit tentu kebingungan kalau segera diberlakukan kurikulum baru lagi. Apalagi sampai saat ini belum diketahui perubahannya, tetapi sudah diputuskan segera dilaksanakan pada tahun ajaran baru 2013,? kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Buku (Ikapi) Pusat Lucya Andam Dewi, saat seminar nasional bertajuk ?Menyongsong Kurikulum Nasional Pendidikan Dasar dan Menengah?  di Jakarta, 29 Oktober 2012.

?Belum ada pejabat yang bersedia menjelaskan soal perubahan kurikulum. Pejabat Puskurbuk Kemdikbud hanya berpesan agar penulis dan penerbit buku teks sabar dan jangan terburu-buru membuat buku sampai kurikulum disahkan,? kata Lucya yang juga dimuat Kompas.com. Lucya menambahkan, dalam perubahan kurikulum, pemerintah juga harus memikirkan kesiapan guru dan bahan ajarnya. Apalagi guru selama ini lebih mengandalkan buku-buku panduan ataupun buku teks pelajaran dari penerbit untuk memahami kurikulum dalam pembelajaran di kelas.

Menurut Diah Harianti, pihaknya selalu mengingatkan pada para penerbit agar tidak bergantung pada pembuatan buku pelajaran sekolah saja. Pasalnya, suatu hari nanti buku pelajaran sekolah memang akan digratiskan untuk para guru dan siswa. ?Sekarang sudah ada program wajar 12 tahun yang semestinya sudah bebas biaya untuk negeri. Tapi walaupun ada yang gratis, urusan buku kadang belum sepenuhnya bebas biaya,? ujar Diah. ?Padahal urusan buku ini yang kerap dikeluhkan oleh orang tua siswa karena tidak murah. Untuk itu, buku pelajaran digratiskan ini mungkin terjadi,? ucapnya lagi.

Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Musliar Kasim, juga mengakui banyaknya keluhan yang masuk karena urusan buku yang memakan biaya besar dari para orang tua siswa. Ditambah lagi, kurikulum yang berlaku saat ini memang membutuhkan buku yang banyak. ?Nanti akan disuplai langsung dari pemerintah untuk buku. Ini bisa menghemat pengeluaran pendidikan juga bagi orang tua,? ujar Musliar.

Terakhir, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengakui pemerintah memang tengah mengupayakan penataan masalah perbukuan di sekolah, seiring adanya kurikulum baru. Apakah penataan itu membuat masalah buku pelajaran tidak lagi memberatkan para orangtua? Terlepas soal penataan, hal pasti dan jelas, pergantian kurikulum tentulah buku-buku pelajaran harus ikut disesesuaikan, alias harus buku baru. 

Menurut Mendikbud, proses penulisan buku teks pegangan guru dan siswa untuk Kurikulum 2013 diupayakan selesai Februari 2013 dalam bentuk buku contoh (dummy). Buku dummy itu akan dipakai pemerintah sebagai materi utama dalam pelatihan guru selama 52 jam. ?Salah satu faktor kesuksesan implementasi kurikulum adalah kesiapan buku karena itu, buku kita prioritaskan. Tanpa buku itu, tidak akan bisa pelatihan,? kata M Nuh,  di kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, DI Yogyakarta, 30 Januari 2013.

M Nuh mengatakan, untuk menulis buku tidak perlu menunggu kurikulumnya selesai karena yang terpenting adalah penyiapan kompetensi dasar dari setiap tingkat kelas. Kompetensi dasar setelah dirumuskan diturunkan menjadi silabus kemudian menjadi buku. Setiap tema ada satu tim khusus untuk menyusun buku. Adapun untuk jenjang SD ada sembilan tema. ?Yang paling penting semester satu. Semuanya harus diselesaikan,? kata Nuh, seperti dimuat Kompas.com

Dikatakan juga oleh Mendikbud, pemerintah akan menata ulang mekanisme perbukuan seiring pemberlakuan kurikulum baru. Lembar kerja siswa yang sekarang beredar tidak boleh ada lagi karena sudah dimasukkan ke dalam buku pegangan. Kebijakan ini dilakukan, semata-mata untuk membebaskan lingkungan sekolah dari bisnis buku dan melindungi orangtua dan siswa. ?Sama sekali tidak ada maksud kami untuk mematikan penerbit atau percetakan,? kata Nuh.

Mengundang Pertanyaan

Terlepas dari persoalan keresahan penerbit dan pencetak buku, kekhawatiran perubahan kurikulum bakal menghabiskan banyak dana anggaran, termasuk lewat penyediaan buku, kini sudah mencuat pula.   Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Golkar, Ferdiansyah, mengatakan, kenaikan anggaran untuk pengadaan buku dan pelatihan guru pada kurikulum 2013 mengundang berbagai pertanyaan. Salah satunya adalah terkait sumber dana yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan sebesar Rp 1,4 triliun.

?Awalnya kan Rp 684 miliar, lalu pertemuan berikutnya naik jadi Rp 1,4 triliun. Katanya mau diambil dari DAK (Dana Alokasi Khusus). Rinciannya bagaimana? Ini harus jelas. Jangan sampai jadi Hambalang kedua,? kata Ferdiansyah saat Rapat Dengar Pendapat di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (28/1/2013). Artinya,  perubahan kurikulum yang ditaksir menghabiskan biaya triliunan rupiah untuk pelatihan guru dan pengadaan buku, dapat saja menjadi lahan baru penyelewengan anggaran sebagaimana terjadi pada proyek besar, seperti skandal korupsi Proyek Hambalang.

Direktur Politeknik Media Kreatif Jakarta, Bambang Wasito Adi mengatakan, anggaran pengadaan buku sebenarnya tidak harus terlalu mahal. Hal ini berdasarkan perhitungan yang dia buat. ?Untuk buku SD dengan kualitas bagus yaitu kertas yang bagus dan berwarna, jika dicetak sekitar lima juta eksemplar dengan jumlah halaman sebanyak 80 halaman per buku maka harga satu buku sekitar Rp 4.700 atau dibulatkan menjadi Rp 5000,?  kata Bambang.

Jika Bambang benar, tentu saja kecurigaan bakal ada penyelewengan cukup beralasan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menganggarkan harga satuan buku sebesar Rp 42.000 dengan estimasi 200 halaman dan akan dicetak sekitar 57 juta eksemplar untuk semua jenjang pendidikan. ?Kalau hitungan sebelumnya tadi dengan perkiraan 200 halaman, paling tidak harga satuannya jadi Rp 12.500. Tapi untuk anak sekolah apalagi anak SD, 200 halaman itu banyak sekali. Ideal ya antara 70 atau 80 halaman,? kata Bambang berkomentar di DPR.

Berdasarkan perhitungan Bambang itu, maka anggaran sebesar Rp 1 triliun khusus untuk pengadaan buku memang terlalu besar. Tidak salah kalau DPR dan pengamat meminta Kemdikbud mengklarifiksi  rincian anggaran tersebut kepada publik sehingga tidak muncul tuduhan penyelewengan anggaran atau korupsi terkait pengadaan buku pada kurikulum baru ini.

Belum lagi, disebut-sebut pula bahwa pergantian kurikulum atau tidak, harga buku yang digunakan oleh siswa tetap saja bertambah mahal tiap tahun ajaran. ?Sekarang buku masih mahal. Padahal sebenarnya buku bisa murah. Pemerintah harus bekerja untuk ini. Yang membuat mahal, saya kira di luar aspek produksi. Biasanya terkait dengan tata niaganya. Ini yang harus dihapus. Saran saya ini harus diintervensi pemerintah. Pencetakannya boleh oleh swasta tapi tata niaga ini harus diatur. Jangan seperti sekarang, turun ke penerbit kemudian dijual sekolah atau guru,? ucap Bambang Warsito Adi, saat Rapat Dengar Pendapat Umum di Ruang Rapat Komisi X DPR RI, Jakarta, Senin (28/1/2013).  (Kompas.com).

Sikap antipati, curiga, bahkan rasa jengkel kalangan orangtua terhadap masalah buku sekolah sudah lama kita ketahui, terlepas ada tidak ada perubahan kurikulum. Sedangkan tanpa perubahan saja, buku pelajaran suka berbeda, walau isinya sebenarnya sama, apalagi kini dengan adanya kurikulum baru. Tudingan adanya mafia, persekongkolan antara pihak sekolah dan distributor atau bahkan penerbit buku sering mengemuka, tanpa ada upaya nyata pemerintah mengatasinya. Nah akankah, Kemendikbud kini benar-benar dapat mengatasi mafia buku pelajaran sekolah bersamaan dengan pergantian kurikulum? Mari, kita nantikan saja! ***

Baca selengkapnya di :
http://madina.co.id/refleksi/kurikulum-baru-dan-mafia-buku/