Author Topic: Buku Sekolah, Dulu dan Sekarang  (Read 6761 times)

Offlinesatyana

Jr. Member

Buku Sekolah, Dulu dan Sekarang
| February 09, 2014, 09:38:27 AM
Buku Sekolah, Dulu dan Sekarang



 Kemarin hampir seharian saya berkutat dengan buku, bukan buku bacaan melainkan buku-buku sekolah anak-anak saya. Dari buku-buku tulis lama yang menurut saya masih bisa dimanfaatkan hingga buku pelajaran sekolah baru.

Apa yang saya lakukan untuk buku tulis lama sempat saya buat menjadi status di Facebook demikian ? Kalau tahun ajaran baru sebenernya gak perlu beli buku tulis baru, cukup ganti sampul plastik sama ganti kelasnya aja, karena setahun yang terpakai gak sampai setengahnya #kalau emak2 kayak gini semua tukang jualan buku sepi.?

Ada kompasianer yang mengomentari status Facebook saya tersebut dengan tertawa dan menyebut ?Emak Pelit? dan saya tahu itu sebatas candaan dan dalam hati mengagumi hehehe. Apa yang saya lakukan ini memang terkesan pelit (tepatnya mungkin irit/hemat kali ya *bela diri) tetapi saya punya alasan kuat mengapa melakukan hal tersebut.

Penggunaan buku tulis sekolah anak-anak saya ini berbeda dengan saat saya sekolah dulu (thn 80-90 an). Dulu satu mata pelajaran hanya membutuhkan satu buku tulis, bahkan anak laki-laki waktu SMA dulu hanya menggunakan satu buku tulis untuk semua mata pelajaran hehehhe. Sekarang, saat anak saya sekolah, satu mata pelajaran memerlukan 3 buah buku tulis, yakni untuk PS, PR dan catatan, sehingga untuk 10 mata pelajaran memerlukan 30 buah buku belum termasuk 2 buku menulis halus dan 3 buku tulis kotak untuk mandarin.

Jadi, karena buku yang digunakan terpisah-pisah dan soal latihan lebih banyak dikerjakan di buku cetak dan di majalah cerdas (buku latihan soal seperti LKS), maka dalam satu tahun  satu buku hanya terpakai beberapa lembar, sehingga sayang bila dibuang.

Cara saya memanfaatkannya sengaja tidak dengan merobek-robek bagian yang sudah terpakai karena akan merusak buku,  tetapi saya hanya menggunakan buku tersebut sebagai buku untuk tugas yang sama dan untuk mata pelajaran yang sama, contohnya buku untuk PS Agama di kelas 1 akan saya gunakan kembali untuk PS Agama di kelas 2 dan saya hanya mengganti sampul plastik, mengganti kelas dan memberi batas pada halaman terakhir lembar terpakai dan menulis ?Kelas 2 Semester 1″

Anak saya tidak protes dan pihak sekolah pun tidak mempermasalahkan karena buku tulis tersebut masih dalam keadaan rapi dan kegiatan ini sudah saya lakukan sejak anak pertama saya masih di Sekolah Dasar kelas 2.

Buku Pelajaran Sekolah.

Sama halnya dengan buku tulis, penggunaan buku pelajaran saat saya sekolah dulu berbeda dengan anak-anak saya.

Sebelum ke penggunaan buku, saya ingin mengeluarkan uneg-uneg mengenai ukuran buku pelajaran sekolah sekarang ini. Ukuran buku pelajaran sekolah sekarang tidak seragam, bahkan dengan penerbit yang sama mata pelajaran berbeda ukuran bukunya tidak sama.

Perbedaan ukuran buku ini bukan saja tidak enak di lihat karena tidak seragam tetapi juga cukup merepotkan saat menyampulnya, terlebih untuk ukuran buku yang lumayan besar, yang tidak dapat menggunakan sampul buku jadi.

Terus terang saya bertanya, apa tujuannya dibuat berbeda-beda dan mengapa harus dibuat ukuran besar? Mengapa tidak diseragamkan saja seperti saat dulu saya sekolah.

Mengenai penggunaan buku pelajaran sekolah, saat saya sekolah dulu hampir dapat dikatakan sejak SD hingga SMA saya tidak pernah membeli buku pelajaran sekolah, karena buku pelajaran yang saya gunakan adalah buku turun temurun dari kakak-kakak saya.

Sekarang ini,  setiap tahun sekolah menjual buku baru, walau kurikulum tidak berganti, murid tetap harus membeli buku baru, karena biasanya sekolah mengganti buku yang digunakan dengan pengarang dan penerbit berbeda, atau bila sama pun biasanya buku tidak dapat digunakan adiknya karena buku sudah diisi dengan jawaban soal (tugas dikerjakan di buku cetak).

Harga-harga buku tersebut tidaklah murah, untuk satu tahun pelajaran dapat mencapai Rp. 660.000,-.

Untuk sekolah negeri, mungkin buku-buku tersebut dapat dipinjamkan secara gratis, tetapi mengingat penerimaan siswa di sekolah negeri terbatas (biasanya seleksi berdasarkan NEM), maka bagaimana dengan nasib anak-anak sekolah yang NEM nya tidak terlalu tinggi dan berasal dari keluarga yang tidak mampu? Untuk membayar uang sekolah saja mungkin berat, apalagi bila ditambah harus membeli buku setiap tahun.

Sudah menjadi rahasia umum bila sekolah akan mendapatkan keuntungan dari penjualan buku-buku (baik keuntungan langsung maupun fee dari penerbit) tetapi bila ada aturan yang jelas mengenai penggunaan buku yang tidak memberatkan orang tua murid, maka setidaknya, untuk yang tidak mampu dapat meminjam buku dari kakak kelasnya atau untuk yang memiliki kakak, tidak harus membeli buku pelajaran baru setiap tahun atau lebih bagus lagi bila ada aturan bahwa dana BOS digunakan untuk penyediaan buku yang dapat dipinjamkan kepada murid selama setahun.

Selamat memasuki tahun ajaran baru, semoga pendidikan di Indonesia lebih baik.

Baca selengkapnya di :
http://edukasi.kompasiana.com/2013/07/11/buku-sekolah-dulu-dan-sekarang-575859.html