Author Topic: Nasib Buku: Saatnya Menyerah Pada Masa Depan Digital  (Read 8407 times)

Offlineinjid_semut

Hero Member

Nasib Buku: Saatnya Menyerah Pada Masa Depan Digital
| November 22, 2012, 01:26:16 PM
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan rencana Newsweek untuk menerbitkan edisi terakhir cetak majalahnya yang akan terbit 31 Desember. Untuk perusahaan media sebesar Newsweek dengan tiras per edisi sebesar 1,5 juta eksemplar memang cukup mencengangkan. Oplah sebesar itu jelas belum ada tandingannya di tanah air. Apa kabar media cetak mainstream di Indonesia ya?

Bagi mereka yang sejak dahulu meramalkan matinya media cetak, kisah Newsweek ini adalah ramalan yang tergenapi. Dalam gempuran teknologi informasi yang semakin canggih, ketersediaan alat baca elektronik dengan harga kompetitif, pergeseran ke ranah digital semakin tak terbantahkan. Dalam dialog Hamlet yang populer itu, pertanyaan eksistensial itu bisa kita selewengkan menjadi: ?To go digital or die!?

Masa depan digital ini tak urung membuat banyak pelaku bisnis buku cetak ketar-ketir. Jangan ditanya tentang menjual oplah jutaan eksemplar, bisa bertahan saja sudah untung rasanya. Memang, kalau dibandingkan industri buku kita, kalau memang mau disebut industri, relatif masih tertinggal. Menilik ke belakang, industri cetak yang berkembang di negara maju sekarang tak lain berkat penemuan mesin cetak Gutenberg pada 1450. itu artinya, setelah mengalami masa pencerahan selama 500 tahun lebih barulah mesin cetak dianggap boleh menemui ajalnya untuk segera digantikan teknologi digital. Umur industri buku kita mungkin lebih muda dari usia republik ini.

Gambaran meriahnya semangat digital ini bisa kita cium aromanya dalam perhelatan akbar industri buku tahunan dunia di Frankfurt Book Fair. Meskipun transaksi buku cetak masih tergolong besar, namun hampir bisa dipastikan setiap penerbit sudah membekali diri dengan versi buku elektronik yang dapat dibeli melalui Amazon atau kedai buku digital lainnya seperti iTunes dan Google Play. Tenda-tenda kotak berpartisi yang semula hanya diisi penerbit, mulai disewakan untuk start-up digital solution.

Mundur sejenak sekitar dua bulan dari pelaksanaan pesta buku Frankfurt, di Juni 2012 Tokyo International Book Fair bahkan telah mencanangkan gerakan digital ini dengan sangat ekstensif. Dalam 5 tahun ke depan setidaknya akan ada 1,5 juta judul buku dialihdigitalkan. Lalu, bergandengan dengan KOBO yang baru saja diakuisisi oleh Rakuten, web e-commerce terbesar di Jepang saat ini dengan 75 juta pelanggan, dan sudah masuk pula ke Indonesia, banjir bah bacaan elektronik diperkirakan akan datang sebentar lagi.

Yang menarik, Jepang saya lihat akan menjadi pionir tren bacaan elektronik dengan memperkenalkan mesin sejenis vending machine untuk ebook yang akan diletakkan di setiap tempat publik yang nantinya kebutuhan isi buku elektronik semudah membeli minuman ringan: bisa di stasiun, minimarket, mall, di jalanan dan masih banyak lagi. Saya terkagum-kagum, ?Yang bisa mikir sampai sedetail ini kayaknya cuma Jepang.?

Bagaimana dengan tren industri buku di tanah air? Saya kira, tren digital ini bukan terjadi karena perkembangan teknologi semata. Dalam film Home: We Have a Date With a Planet, sebuah film dokumenter yang bisa ditonton secara gratis melalui youtube, sebuah kenyataan memilukan tentang masa depan bumi ini membuat saya kelu. Bumi mengalami tingkat kerusakan luar biasa dengan kecepatan yang tidak bisa dibayangkan! Termasuk hilangnya pohon-pohon yang diganti dengan pohon industri baik untuk kebutuhan rumah tinggal maupun bahan baku kertas, sumber utama buku cetak!

Manusia dihadapkan pada pilihan etis untuk mempertahankan keseimbangan dengan beralih pada format digital. Kepentingan untuk mempertahankan bumi yang layak huni menjadi sedemikian besar dibandingkan merelakan perluasan jutaan hektar hutan tanaman industri yang mengancam masa depan anak cucu kita. Pada akhirnya nanti, mungkin saja buku cetak akan surut untuk kemudian punah, tetapi konten akan tetap abadi. Dari konten, industri ini akan terus hidup dan menghidupi pelaku dunia literasi. Amin. (***)

*Salman Faridi, CEO Bentang Pustaka

Sumber : http://www.mizan.com