Author Topic: Mafia Buku vs Permendiknas  (Read 6004 times)

Offlinesatyana

Jr. Member

Mafia Buku vs Permendiknas
| February 11, 2014, 02:45:27 PM
Mafia Buku vs Permendiknas

Oleh : Didik M. Riyadi



Permendiknas No. 2 tahun 2008, tentang pembelian hak cipta buku pelajaran SD ? SMA/SMK, bagaimana kabarmu ? Kebijakan yang sangat adaptif dan populis itu apakah sudah dilaksanakan, dengan hasil yang signifikan ? ATaukah kembali mentok, kalah oleh mafia buku yang sudah dengan sangat rapi dan sistematis menggarap hulu hingga hilir peredaran buku pelajaran di tanah air tercinta ini ? Kalau sampai kebijakan menteri yang bertujuan sangat mulia itu kalah juga oleh kepentingan bisnis, maka siap-siaplah para orang tua untuk kembali merogok kocek lebih dalam lagi, setelah di ?gempur? berbagai uang masuk dan iuran bulanan, iuran akhir pelajaran, dana sukarela tali asih guru kelas dan lainnya; untuk pembelian banyak buku pelajaran anaknya, pada setiap tahun ajaran baru.

Benar sekali, orang tua mesti termangu-mangu menerima seabrek buku pelajaran baru dari anaknya dalam kemasan yang luks, gambar berwarna yang sungguh menarik, tapi dengan harga yang selangit. Buku pelajaran tahun lalu ? Masuk ke keranjang sampah. Saya, yang kebetulan mempunyai anak kelas 4 dan kelas 5 SD, sangat merasakan hal itu, di mana buku pelajaran milik kakaknya tidak dapat diwarisi oleh adiknya. Sekolahan memunculkan buku pelajaran baru, meski saat iseng-iseng saya teliti, isi dan materinya sama. Perubahan di sana-sini yang dilakukan penerbit, sangat tidak signifikan dengan beban yang harus ditanggung orang tua. Itu ulah siapa ? Ternyata, mata rantainya sangat panjang, mulai dari oknum penerbit, percetakan, oknum birokrat di diknas pusat hingga kecamatan, makelar, sampai kepada kepala sekolah dan guru. Mereka membentuk jaringan yang teratur, rapi dan sangat terkoordinasi. Mereka mirip mafia. Benar, mafia yang bergerak di dunia buku pelajaran.

Mafia Buku ? Makhluk apa lagi itu ? Apa hubungannya dengan mafia hukum dan mafia pajak serta mafia lainnya ?


Dana mubazir

Indonesia saat ini mempunyai sekitar 150 penerbit buku pelajaran dengan omzet rata-rata per penerbit Rp 10 milyar per tahun. (Junaidi Gafar, Kompas 24/3). Menurut seorang teman yang bergerak di dunia percetakan dan penerbitan, alokasi pembiayaan sebuah buku pelajaran mulai dari naskah hingga jadi buku dan siap di pasarkan ke konsumen, besarannya adalah, 50 ? 55 persen ternyata digunakan untuk promosi dan distribusi. Sementara untuk biaya cetaknya antara 10 ? 15 persen. Sedangkan untuk honor penulisnya, dipatok harga hanya 10 persen. Sisanya yang antara 20 hingga 30 persen adalah keuntungan penerbit.

Yang gampang saja, untuk sebuah buku pelajaran seharga Rp 10.000 misalnya, ? (red: harga buku pelajaran sekarang bervariasi, mulai dari Rp 5.000 yang memakai kertas CD hingga Rp 30.000 atau bahkan lebih, yang full colour dan bagus) ?.kalau dipotong 50 persen untuk promosi distribusi, 10 persen biaya cetak dan 10 persen royalty penulisnya, penerbit masih untung Rp 3.000 / buku. Kalau mereka bisa masuk ke satu sekolah dengan murid 1000 orang saja, keuntungannya sudah Rp 3 juta. Bagaimana kalau mereka bisa masuk ke 10 sekolahan dengan murid 10.000 orang, keuntungan bersih mereka Rp 3.000 x 10.000 = Rp 30 juta rupiah. Kalau satu kabupaten ?

Padahal mereka biasanya menjual 5 ? 10 buku pelajaran untuk setiap kelas. Untuk SD yang mempunyai kelas 1 ? 6 misalnya, kalau masing-masing kelas mempunyai rata-rata 3 kelas saja dengan murid masing-masing 30, maka jumlah muridnya : 6 x 3 x 30 = 540 orang. Kalau di sekolah itu penerbit rata-rata menjual 5 jenis buku pelajaran saja, keuntungan yang didapat dengan harga buku rata-rata Rp 10.000 bisa dilihat : Rp 3.000 x 5 x 540 orang murid = Rp 8.100.000. Kalau mereka bisa masuk ke 10 sekolahan ? Satu Kabupaten ? Silahkan hitung sendiri.

?Semakin besar oplah buku, semakin turun biaya promosi distribusi dan cetaknya. Jadi kalau kemudian ada yang menulis omzet sebuah penerbitan besar buku pelajaran sekitar Rp 10 milyar per tahunnya, itu bisa lebih. Bahkan, sebuah penerbitan yang bisa masuk dan menguasai (bisa dibaca monopoli) sebuah kabupaten, untuk SD hingga SMA/ SMK, untuk mendapatkan keuntungan Rp 10 milyar tidak usah menunggu hingga setahun,? ungkap teman yang merasa tidak perlu disebutkan namanya itu, karena takut bersinggungan dengan teman-temannya.

Waduh!?

Jadi penerbit buku pelajaran selama ini sudah menangguk keuntungan yang demikian besar ya ? Dan yang jadi korban, kita, para orang tua yang mempunyai anak yang masih sekolah ?

Diakui atau tidak, penerbit buku pelajaran sudah banyak diuntungkan selama ini. Mereka telah demikian rakusnya (kalau bisa dikatakan demikian), menggelontorkan berbagai buku pelajaran setiap tahunnya, tanpa pernah mau peduli dengan kemaslahatan orang banyak. Keluhan para orang tua di tiap tahun ajaran baru, seolah menjadi semilir angin yang melenakan, yang malah meninabobokkan. Beban berat yang harus dipikul orang tua karena harus menyiapkan uang buku ratusan ribu rupiah, sama sekali tidak mengusik mereka.

Kalau saja mereka mau sedikit saja peduli dan berempati dengan masyarakat? Betapa senangnya, saat sang adik bisa mewarisi semua buku pelajaran milik kakaknya seperti yang pernah dilakukan pemerintah masa orba lalu. Betapa bahagianya para orang tua saat melihat sang kakak mengajari sang adik pelajaran yang pernah dia terima tahun lalu. Kalau saja dana trilyunan rupiah keuntungan para penerbit itu bisa sedikit saja dialokasikan untuk kemaslahatan umat.


Medan perang

Untuk membawa para penerbit buku pelajaran mau ikut serta mencerdaskan anak bangsa dengan menerbitkan buku pelajaran murah dan bisa diwarisi adik kelasnya, sehingga bisa memunculkan pendidikan murah tapi bermutu, ternyata masih jauh dari harapan. Sebab, ?mereka kan belum kaya raya mas. Mereka masih butuh duit yang lebih banyak lagi. Kalau mereka sudah merasa cukup dan harus berhenti ?mencetak? duit, untuk mulai beribadah dan ber amal sholeh, barulah mereka bisa diajak untuk ikut mencerdaskan anak bangsa tanpa harus mencekik leher orang tuanya dengan beban uang buku yang mahal,? ungkap sang teman.

Pendidikan bermutu dan murah, adalah hak setiap warga. Permendiknas No. 2 tahun 2008 sebenarnya sebuah jawaban untuk itu. Tapi kenyataan di lapangan ternyata tidak seperti idealisme yang diusung permendiknas itu. Di lapangan, adalah medan perang bagi para penerbit untuk penetrasi pasarnya. Segala cara kemudian dilakukan, agar sebuah sekolahan mau terikat kontrak jangka panjang, memakai buku-buku terbitannya. Kalau perlu dengan memberikan bonus dan potongan harga besar, agar buku milik penerbit lainnya bisa disingkirkan.

Pemberian bonus dan aneka trik serta langkah pat gulipat penerbit agar bisa masuk ke sebuah sekolah kemudian muncul dengan gamblangnya saat seorang teman yang menjadi supervisor sebuah penerbitan membuka mulut. Menurut sang teman, banyak penerbit yang siap dan bersedia memberikan bonus mulai dari alat-alat elektronik macam tape, sound system hingga kulkas dan bahkan sepeda motor. Imbalannya, kontrak jangka menengah hingga panjang dari sekolah untuk memakai buku-buku pelajaran terbitan mereka. Sebuah mobil, bahkan siap diberikan kalau mereka berhasil masuk ke sebuah yayasan, yang mengelola pendidikan mulai dari TK hingga SMA/ SMK.

Sayangnya, masih banyak kepala sekolah atau penentu kebijakan di sebuah sekolah yang demikian lugu dan jujurnya, sehingga dengan gampangnya mengikat kontrak dengan penerbit hanya dengan imbalan diskon dan atau rabat yang kompetitif. Padahal kalau mereka mau sedikit saja menawar, sekolahan mereka bisa mendapatkan sepeda motor dengan gratis misalnya , atas kontrak pemakaian buku pelajaran terbitan sebuah penerbit.

Oknum diknas juga sering di?mintai? bantuannya untuk memberikan rekomendasinya. Dalam pola tataran birokrasi yang masih sangat tradisional, di mana apa yang dikatakan atasan (para oknum pejabat diknas), dianggap seperti sabdo pandito ratu, maka rekom itu menjadi sangat manjur untuk mereka masuk ke sekolah. Peran makelar, juga mengemuka di jalur perang para penerbit untuk masuk ke sekolah-sekolah. Hanya, menurut sang teman, di era otonomi ini sekolah terkadang berani ?membiarkan? rekom itu, dan terus memberikan jawaban diplomatis, untuk akhirnya menolak rekom itu. Kalau mau jujur peredaran buku pelajaran saat ini sudah menjadi jalur perang, bagi banyak penerbit.

Saat para penerbit sama banting harga dengan memberikan diskon dan bonus, seharusnya yang diuntungkan adalah konsumen. Benar, kalau konsumen yang disebut itu adalah pihak sekolah. Tapi anak didik yang menjadi konsumen langsung bagaimana ? Mereka tetap harus membeli buku pelajaran itu dengan mahal, karena sekolah menjualnya sesuai dengan harga bandrol yang tercantum di bukunya. Jadi yang diuntungkan sekali lagi, sekolahan. Orang tua murid ? Tidak!


Sebuah jawaban ?

Permendiknas No. 20 tahun 2008. dapatkah menjadi jawaban atas kebutuhan buku murah menuju pendidikan murah dan berkualitas ? Ternyata masih banyak kendala yang harus dihadapi di lapangannya. Kebebasan untuk mengunduh banyak buku pelajaran via internet belum sepenuhnya dilaksanakan oleh tenaga didik dan pendidik. Kesibukan para guru dengan beban administrasi yang demikian banyak, menjadi salah satu alasan. Alasan lainnya, tidak adanya waktu karena semua tenaga dan pikiran sekolahan di fokuskan pada bagaimana menyiapkan anak didik yang harus ikut UN agar bisa lulus 100 persen. Mereka, para guru tidak mempunyai waktu untuk menjilid atau mencetak kembali buku hasil unduhan itu, dalam sebuah kemasan yang menarik bagi muridnya sebagaimana buku pelajaran yang diterbitkan penerbit. Kalaupun mereka mau dan ada waktu, kalkulasi biaya untuk mencetak dalam format sebuah buku pelajaran yang menarik, jatuhnya ternyata terpaut sedikit, terkadang sama bahkan lebih mahal dibandingkan buku pelajaran yang sudah ada.

Idealisme yang diusung permendiknas itu, di mana guru akan bisa mengembangkan kompetensinya dengan berinovasi atas proses KBM lewat buku unduhan dari internet itu, dilapangan ternyata menghadapi banyak kendala. Semuanya akhirnya kembali kepada semua jajaran diknas dari pusat hingga kecamatan, apakah mereka mau dan mampu serius mengawal permendiknas yang akan membeli hak cipta banyak penulis buku pelajaran , yang ternyata sudah dilakukan Jepang pasca bom atom Nagasaki Hirosima dulu sehingga menjadi bangsa Jepang menjadi besar seperti sekarang ini ?

Semuanya tentu saja agar, mafia buku yang saat ini sudah demikian sistematis dan rapi menggarap dari hulu hingga hilir peredaran buku pelajaran, bisa dilokalisir dan kalau perlu disingkirkan. Sehingga , pertama: buku pelajaran menjadi murah. Dan kedua: para orang tua tidak harus berteriak keras di tengah lautan luas dan sia-sia, atas makin mahalnya uang buku anaknya. Bagaimana Kemendiknas ? (dmr)

Baca Lengkap di :
http://edukasi.kompasiana.com/2013/09/21/mafia-buku-vs-permendiknas-593755.html